Loebby Loqman*)
* ) Pakar hukum pidana
UNDANG-UNDANG No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diundangkan, telah menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Penyebabnya adalah karena undang-undang tersebut tidak memberikan aturan peralihan. Lalu, timbullah anggapan bahwa, dengan demikian, kejahatan korupsi yang dilakukan sebelum Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak dapat lagi diajukan ke depan pengadilan. Tuduhan pun terlontar bahwa hal demikian sengaja dibuat oleh pemerintah pada saat itu agar kejahatan korupsi yang terjadi pada masa lalu tidak dapat lagi diajukan ke depan pengadilan.
Seperti diketahui, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999—selanjutnya kita sebut Undang-Undang 31—merupakan pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, yang dirasa kurang lengkap dan masih mengandung kelemahan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kiranya para pembuat Undang-Undang 31 menyadari bahwa karena tidak dengan jelas diatur dalam suatu aturan peralihan, sudah dengan sendirinya, untuk perbuatan sebelum undang-undang tersebut berlaku, ia masih dianggap dapat digunakan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal yang menyatakan bahwa, sejak berlakunya Undang-Undang 31, Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku.
Perlu diperhatikan di sini bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dinyatakan tidak berlaku semenjak Undang-Undang 31 berlaku. Artinya, sejak 16 Agustus 1999, yang berlaku adalah Undang-Undang 31. Akan tetapi, kejahatan korupsi sebelum Agustus 1999 masih terkena Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Mungkin orang berpendapat bahwa perkataan tidak berlaku sama artinya dengan dicabut. Sehingga, dengan adanya undang-undang yang baru, undang-undang lama dengan sendirinya sudah tidak dapat digunakan lagi. Padahal, Pasal 44 yang memberlakukan Undang-Undang 31 dan tidak memberlakukan lagi Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tidak berlaku surut. Artinya, Undang-Undang 31 berlaku ke depan. Sedangkan untuk apa yang terjadi sebelumnya, tetap ber-laku yang lama.
Memang ada asas yang termuat dalam Pasal 1 Ayat (2) bahwa, apabila ada perubahan undang-undang pada saat seorang terdakwa diadili padahal dia melakukan sebelum ada perubahan undang-undang, hakim dapat memilih ketentuan yang menguntungkan terdakwa.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan memilih ketentuan yang menguntungkan terdakwa bukan berarti menggunakan keseluruhan undang-undang yang menguntungkan terdakwa. Dapat saja hakim memilih salah satu bagian dari undang-undang yang dianggap menguntungkan terdakwa. Umpamanya, apabila ancaman pidana untuk unsur perbuatannya menguntungkan, diambil ancaman pidana pada undang-undang yang menguntungkan.
Karena itu, bila terjadi pemahaman bahwa undang-undang korupsi yang baru tidak memberlakukan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 terhadap perbuatan korupsi sebelum Undang-Undang 31, sehingga dengan demikian dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan dan membuat perbuatan terdahulu tidak dapat diajukan ke pengadilan, kiranya hal itu harus dikaji lebih lanjut. Sebab, pendapat demikian merupakan penggunaan pengertian menguntungkan secara menyeluruh terhadap keseluruhan undang-undang.
Lepas dari kontroversi yang timbul, kiranya pemerintah sudah melakukan antisipasi, yaitu dengan mengajukan amandemen Undang-Undang 31 ke depan DPR. Dengan demikian, terdapat kepastian hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun demikian, mungkin masih terdapat kelemahan, yaitu adanya kemungkinan memberlakukan suatu aturan peralihan yang barangkali bisa berlaku surut.
Sekaligus, perbaikan tentang beban pembuktian juga ada pada rancangan amandemen. Sebenarnya, apabila disimak secara saksama, hal beban pembuktian sudah ada dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, yang menyiratkan tentang beban pembuktian terbalik. Akan tetapi, karena kalimatnya tidak secara nyata menyatakan hal itu sebagai beban pembuktian dan menuliskannya dengan kalimat "terdakwa dapat memberikan keterangan", dianggap masih harus dilakukan lafal yang jelas, yaitu tentang pembuktian. Tentang beban pembuktian terbalik ini pun telah termuat dalam Undang-Undang 31. Akan tetapi, karena apa yang tersirat masih dianggap belum dapat diberlakukan, hal beban pembuktian ini perlu diamandemen dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dari semula, pembuktian terbalik ini sudah dirumuskan bukan sebagai pembuktian terbalik yang mutlak. Sebab, meskipun terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta yang dipunyai bukan hasil korupsi, jaksa penuntut umum masih berkewajiban melakukan pembuktian di depan sidang.
Kiranya, dalam membaca dan melaksanakan undang-undang, kita tidak hanya cukup membaca yang terdapat dalam undang-undang, akan tetapi juga perlu mengingat asas umum dalam hukum yang bersangkutan serta sejarah terbentuknya pasal dalam undang-undang yang bersangkutan, termasuk filosofi yang mendasari suatu undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini