Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Amerika kurang nafsu atau kurang gesit?

Investasi amerika serikat ke Indonesia menurun karena mundurnya daya saing dan investor masih di jalur konservatif, bukan birokrasi dari indonesia

18 Juli 1992 | 00.00 WIB

Amerika kurang nafsu atau kurang gesit?
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERNYATAAN Duta Besar Amerika Serikat John Monjo, bahwa modal Amerika Serikat tak bernafsu masuk ke Indonesia karena, antara lain, birokrasi dan juga korupsi, menarik banyak perhatian. Sebagai bangsa yang merdeka tetapibelum terlalu lama, perasaan kita mudah tersinggung. Dikatakan korup oleh bangsa lain memang tidak enak. Di negara merdeka yang lebih muda lagi, yakni Vanuatu yang tidak terlalu jauh dari Indonesia, belum lama berselang ini pejabat duta besar Australia juga mengatakan sesuatu yang tidak enak didengar. Reaksinya kontan diplomat itu diminta pulang karena "campur tangan dalamurusan dalam negeri". Syukur, kita sudah lebih dewasa, tidak cepat marah atau lupa daratan. Siapa orang yang mengatakan sesuatu juga penting dalam kebudayaan ketimuran, bukan saja apa yang dikatakan. Kita kenal John Monjo sebagai sahabat baikbangsa Indonesia. Apa saja yang dikatakannya tidak akan diterima dengan prasangka. Kita terima ucapan itu sebagai pernyataan faktual dari seorang pejabat yang kita tahu telah berbuat banyak membantu promosi investasi Amerika ke Indonesia. Ia, bersama duta besar AS di negara ASEAN lainnya, telah berkeliling Amerika Serikat untuk menggugah perhatian bisnis Amerika agarjangan melewatkan ASEAN sebagai sasaran bisnis. Asia Tenggara merupakan kawasan yang laju pertumbuhan ekonominya tergolong tertinggi di dunia. Tentu motif utama para dubes AS lebih banyak menolong bangsanya sendiri. Masalah Amerika Serikat masa kini adalah mundurnya daya saingnya di arena internasional. Akibatnya, defisit perdagangannya membengkak dan timbul prospek suram kalahnya persaingan dengan Jepang. Bahkan mungkin juga dengan "macan-macan Asia" seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong (yang sebentar lagi berarti RRC). Salah suatu gagasan yang proaktif menghendaki bisnis AS menyerang dan merebut kembali mandala Asia dan memenangkan persaingan dengan Jepang di wilayah pasaralami Negara Sakura ini. Hanya kalau AS bisa menang persaingan dengan Jepang di kawasan Asia, AS bisa juga menang persaingan di pasar dalam negeri Jepang. Tetapi apakah AS tidak, atau kurang, bernafsu merebut pasar ASEAN? Dan apakah itu karena, khusus di Indonesia, adanya birokrasi dan korupsi? Duta Besar John Monjo pasti tidak mengisap jempolnya sendiri. Apa yang diucapkan di seminar perdagangan dan penanaman modal di ASEAN dua pekan lalu di Jakarta itu kiranya didengarnya ketika berkeliling Amerika Serikat dan bertemu dengan kalangan bisnis. Tampaknya, birokrasi dan korupsi juga terdapat di negara-negara ASEAN lain, selain Indonesia. Mungkin keadaan di Indonesia tak jauh berbeda dengandi Filipina dan Muangthai. Mungkin keadaan ini agak berbeda dengan di Singapura dan Malaysia. Ada sebuah dalil bahwa korupsi sebagai penyakit masyarakat sering membarengi kemelaratan di suatu negara berkembang. Tapidalil demikian tidak selalu berlaku. Singapura 30 tahun yang lalu juga miskin. Kemudian muncul pimpinan politik yang niatnya ingin bersih, dan mereka berhasil. Rezim di Taiwan korup sekali ketika masih memerintah di daratan Cina (Chungking), tetapi setelah terpaksa menyingkir ke Taiwan, bisa bertobat dan berubah tabiat. Sering dikemukakan dalil ilmu politik yang berbunyi: akar korupsi adalah sistem politik yang terlalu otoriter dan kurang demokratis. Tetapi, India yang disebutbanyak orang Amerika negara "demokrasi terbesar di dunia" juga tidak bebas dari penyakit korupsi dan birokrasi yang bertele-tele. Skandal-skandal politik danbisnis juga sering terjadi di sana, dan baik PMA maupun PMDN kurang tumbuh subur. Korupsi juga beraneka muka. Korupsi di tingkat tinggi (politik) juga terjadi di Jepang, kalau kemudian terbongkar disebut skandal. Tetapi penyakit ini sampai belakangan ini tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi. Beberapa pakar ilmu sosiologi membedakan korupsi yang merusak masyarakat dan korupsi yang (sekadar) "melicinkan" roda birokrasi. Kita di sini juga kenal istilah "uang pelicin". Banyak pakar ilmu sosial lainnya memandang setiap bentuk korupsi sebagai (permulaan) penyakit kanker, atau di zaman globalisasi bisa diibaratkan penyakitAIDS. Kalau tidak disetop dini atau dikendalikan pertumbuhannya, akhirnya bisa merusak sendi-sendi masyarakat dan menyebabkan tumbangnya rezim politiknya. Contoh baik adalah runtuhnya rezim Kuomintang di Cina sebelum tahun 1949. Tapi kita tahu, Muangthai tidak pernah bebas penyakit korupsi, juga korupsi di antara elite pemegang kekuasaannya, akan tetapi negara itu bisa meraih laju pertumbuhan 10% setahun dan sekarang disebut "macan Asia muda". Maka, akhirnya susah sekali untuk mengatakan perihal korupsi secara ilmiah dan secara pasti. Hanya secara moral bisa dipastikan bahwa korupsi merupakan perbuatan terkutuk. Kembali ke masalah investasi AS di Indonesia dan ASEAN, apakah betul mundur sekali? Tutur Sanjoto, Ketua BKPM, "Investasi AS di Indonesia hingga Mei 1992turun menjadi peringkat ketujuh, akibat investor negara itu masih mengambil jalan konservatif, sehingga terdesak oleh beberapa negara Asia. Turunnya peringkat investasi AS bukan karena hambatan birokrasi dari pemerintahIndonesia. Perilaku investor AS berbeda sekali dengan Jepang atau Taiwan. investor Asia ini umumnya cepat memanfaatkan peluang." Di pihak AS sendiri, cara kerja perusahaan besarnya sangat "birokratis" juga, misalnya dalam membuat studi kelayakan secara prosedural diperlukan beberapa tahap yang semuanya bisa mengambil waktu beberapa tahun. Investor Asia bisa mengambil keputusan cepat berdasarkan perhitungan kasar, dan prospek peluang jangka panjang. Memang "korupsi" dalam arti kata memberikan uang imbalan kepada pejabat untuk memperoleh keputusan yang menguntungkan dan yang cepat tidak dapat dilakukan oleh perusahaan Amerika oleh karena bisa melanggar undang-undang antikorupsi di negerinya sendiri. Bisnis AS mengeluh bahwa saingan mereka dari Asia dan Eropa kurang dihambat oleh kekangan undang-undang dari negara asalnya, sehingga sering lebih mudah memenangkan tender atau keputusan lain. DiIndonesia bisnis Amerika juga sering mengeluh kurang tegas serta kurang transparannya sistem perundangan dan pelaksanaannya (enforcement). Untuk membawa suatu sengketa ke pengadilan, di Indonesia itu sama halnya dengan "mencari penyakit". Keputusan pengadilan bisa makan waktu bertahun-tahun, dan vonis akhirnya sukar dieksekusi. Sengketa lebih cepat diselesaikan di luarpengadilan. Tetapi biaya atau kerugian bisa besar bagi pihak yang yakin sudah dilindungi oleh hukum. Ada contoh, yakni sekitar kredit macet Bentoel. Jadi, apakah karena itu semua investor AS tak bernafsu menanam di Indonesia, atau menjadi sungkan meluaskan bisnisnya? Betul, peringkat investasi AS menurun, akan tetapi jumlah investasi masih besar. Statistik Indonesia tidak menyatakan modal asing yang tertanam di bidang perminyakan sebagai PMA, karena disebut kontrak bagi hasil dengan Pertamina. Tapi menurut hakikinya itumerupakan PMA. Dan semua orang tahu, AS masih superkuat di bidang industri perminyakan. Perusahaan migas AS dominan sekali di Indonesia. Keunggulan baru AS memang tidak di bidang manufaktur. Ini adalah daerah keunggulan Jepang. Tapi di sektor industri farmasi, misalnya, perusahaan AS masih kuat juga, termasuk di Indonesia. Kita sekarang melihat di mana-mana iklan promosi untuk fastfood Amerika, seperti MacDonald, KFC, Pizza Hut. Artinya, keunggulankomparatif AS telah bergeser ke food processing, services, dan information technology. Masuknya modal AS tak perlu lewat PMA, cukup dengan franchising. Karena keunggulan services ini, AS sekarang mendesak kuat masuknya (trade in) services ke mana-mana di dunia, juga ke negara berkembang. AS akan berlindungdi bawah bendera GATT, dan kalau GATT gagal, penetrasi itu akan dilakukan secara unilateral dengan menggunakan senjata Undang-Undang Super 301. Karena AS merupakan pasar terbesar di dunia yang diincar oleh semua negara lain, AS menggertak: Kalau kalian ingin pasarku, bukalah pasarmu bagiku! Indonesia sudah menelan pil pahit mengenai isu impor dan distribusi film Amerika.Lain-lain gebrakan bisa saja menyusul. Kita susah menolak mentah-mentah oleh karena ekspor tekstil, pakaian jadi, sepatu, dan lainlain hasil manufakturpadat karya kita banyak masuk AS dan pasarnya masih (diizinkan) meluas. Dan bagaimana masih besarnya investasi AS di negara ASEAN lainnya bisa dikutip suatu berita kecil di Business News 8 Juli: "Penanaman modal AmerikaSerikat di Malaysia naik dua kali lipat menjadi US$ 7 milyar dalam periode empat tahun terakhir." Angka itu diproyeksikan akan naik lagi dengan US# 4,2 milyar sampai dengan tahun 1994. Industri AS memang terutama industri perminyakan, disusul industri elektronik, dan lain-lain. Sayang investasi baru di bidang perminyakan di Indonesia tidak diketahui. Tapi Caltex, misalnya,menanam modal besar sekali untuk secondary recovery di Duri. Jadi, apakah kita harus naik pitam karena seorang duta besar negara asing mengatakan hal-hal yang kurang enak didengar? Bisa saja, tetapi lebih baik sabar. Bandingkan dengan lontaran kata-kata keras antara Jepang dan AS yang tak kalah pedasnya. Pemerintah Jepang juga kalem saja. Kita pun harus begitu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus