Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Salah bentuk penghematan anggaran adalah perampingan kabinet.
Staf khusus tidak sesuai keahlian dan retret kepala daerah di Magelang justru memboroskan anggaran.
Anggaran untuk kebencanaan seharusnya tidak dipangkas,
INSTRUKSI Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 perlu diperjelas lagi. Apakah dimaksudkan bekerja secara efisien dalam arti penghematan, dimaksudkan sebagai pemangkasan anggaran agar bisa dialihkan ke program lain, atau malah anggarannya tidak ada, yang artinya memang tak ada uangnya? Itu tiga hal yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika itu berarti penghematan, ini adalah hal baik. Selama ini kita terlalu boros. Sedikit-sedikit studi banding ke luar negeri. Rapat di hotel mewah padahal ruangan di kantor cukup memadai. Belum lagi tumpukan materi yang tercetak di tiap meja, plus snack dan minuman yang berlimpah. Itu patut dikurangi. Termasuk perjalanan di dalam negeri yang tujuannya hanya membagikan susu.
Penghematan lain banyak ragamnya. Kabinet harus dirampingkan. Stafnya juga yang perlu saja dan sesuai dengan keahlian. Untuk apa staf khusus dari kalangan selebritas yang pekerjaannya tak jelas? Juga berbagai bentuk seremonial sebagaimana yang tertulis dalam inpres itu. Apa manfaatnya mengumpulkan para kepala daerah di Magelang, Jawa Tengah, dalam acara yang bertajuk “Orientasi Kepemimpinan” jika hanya untuk menyamakan persepsi? Itu bisa dilakukan lewat Zoom. Gubernur, bupati, dan wali kota tak perlu diajari baris-berbaris yang menghabiskan anggaran miliaran rupiah. Banyak contoh lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika inpres itu dimaksudkan sebagai pemangkasan anggaran untuk dialihkan ke program lain, pertanyaan besarnya adalah mana program yang lebih penting. Pemangkasan berdampak terhadap banyak masalah. Gaji pegawai honorer tak terbayar, akhirnya ada pemutusan hubungan kerja. Pembangunan infrastruktur mandek. Dana untuk perbaikan jalan strategis tidak ada. Masyarakat merasakan dampak buruknya. Lalu, kalau hasil pemangkasan anggaran itu untuk membiayai makan bergizi gratis, apakah senang melihat anak-anak makan siang gratis di sekolah, sementara sorenya belum tentu makan karena ayah dan ibunya terkena PHK?
Ada anggaran yang seharusnya tak bisa dipangkas meskipun anggaran itu seolah-olah terbuang percuma. Ini bukan soal mubazir. Contohnya adalah anggaran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Anggaran BMKG senilai Rp 2,826 triliun dipotong Rp 1,423 triliun. Apa akibatnya? "Ketepatan akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami menurun dari 90 persen menjadi 60 persen dan kecepatan informasi peringatan dini tsunami dari 3 menit turun menjadi 5 menit, serta jangkauan penyebarluasan informasi gempa bumi dan tsunami menurun 70 persen," kata Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG Muslihhuddin.
Ramalan cuaca BMKG menjadi pedoman orang bepergian. Awal pekan ini, contohnya, BMKG Bali mengeluarkan informasi cuaca ekstrem selama tiga hari, hujan terus-menerus disertai angin kencang. Ada kalanya ramalan itu tak seratus persen benar. Maklum, kekuasaan Tuhan tak selalu bisa diramal. Tapi kali ini benar. Banyak pohon tumbang di jalanan, juga terjadi tanah longsor. Syukur tak ada korban jiwa karena orang cukup waspada, padahal hari-hari itu seharusnya orang banyak bepergian ke berbagai pura dalam kaitan hari raya Saraswati. Terima kasih BMKG.
Teknologi yang canggih sudah bisa menganalisis cuaca. Begitu pula gunung erupsi memberi tanda-tanda lebih awal. Tapi gempa yang disertai tsunami, siapa yang bisa meramal? Yang tersedia barulah alat pendeteksi dini tsunami setelah gempa terjadi. Jika itu terlambat beberapa menit, bayangkan malapetaka apa yang terjadi. Semua ini berpeluang terjadi karena kecepatan memperoleh informasi itu menurun lantaran anggarannya dipangkas.
Siapa yang mengharapkan ada tsunami? Bencana tsunami di Aceh masih menjadi trauma bangsa. Dan kita bersyukur setelah itu tak ada tsunami besar. Tapi apakah kita lalu berkata: “Bertahun-tahun tak ada tsunami, kan mubazir anggaran itu harus disediakan. Dipangkas juga tak apa.” Ya Tuhan, semoga ucapan ini tak pernah ada.
Anggaran untuk kebencanaan seharusnya tidak dipangkas, tapi gerakan penghematan boleh ada. Misalnya, jumlah penjaga pintu kereta api yang mulai dikurangi karena tak ada lagi anggaran untuk tenaga honorer ini. Harus ada langkah antisipatif untuk pengganti karena kecelakaan tak bisa diduga kapan datangnya.
Nah, akhirnya kita perlu juga bertanya: sebenarnya kita punya uang apa tidak? Jangan-jangan anggaran dipangkas itu karena uangnya memang tidak ada atau perlu untuk membayar utang. Kalau memang tak punya uang, ya, jangan bikin program muluk-muluk. Jangan seperti pepatah, lebih besar pasak daripada tiang. Lebih baik berpantun saja: ikan lele, ikan gabus; jangan ngomong bertele-tele, lebih baik fokus.●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo