Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Antiretroviral Langka, Ancaman Datang

Krisis stok obat HIV/AIDS menjadi ancaman. Pengadaan dan distribusi obat harus transparan.

1 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA minyak tanah atau susu formula hilang dari pasar, publik langsung panik lalu melayangkan protes ke pemerintah. Tapi tatkala obat antiretroviral (ARV) langka sejak Oktober lalu, reaksi boleh dibilang senyap. Yang mempersoalkan hanya kelompok yang punya perhatian pada HIV/AIDS atau berkecimpung di bidang penanggulangan penyakit mematikan yang belum bisa disembuhkan itu. Dan yang sangat panik tentulah sekelompok orang yang memang wajib ditolong pemerintah: pengidap HIV/AIDS.

Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada 1 Desember ini merupakan saat yang tepat untuk menjadikan kelangkaan ARV sebagai masalah bersama. Pemerintah tidak bisa dibiarkan sendirian mengurus obat ini. Tidak tersedianya obat penyambung nyawa pengidap HIV ini menunjukkan pemerintah gagal memberikan pelayanan yang baik bagi penderita. Padahal ARV wajib diminum pasien HIV dua kali sehari untuk seumur hidup. Bila absen, tubuh penderita akan imun, dan kematian segera datang menjemput.

Kelangkaan yang sudah berulang sekian tahun belakangan ini perlu dicarikan solusi. Pemerintah memang sudah menggelontorkan dana tambahan Rp 10 miliar dan menjamin ketersediaan ARV sampai Maret 2009. Tapi sulit menjamin ketersediaan obat itu apabila sistem pengadaan dan distribusi belum transparan dan akuntabel.

Selama ini, ARV yang mendapat subsidi pemerintah langsung disalurkan kepada 257 rumah sakit dan pusat kesehatan. Jumlah itu tidak mencukupi kebutuhan karena keterbatasan dana dan jumlah penderita terus bertambah.

Mengandalkan bantuan luar negeri terlalu rumit syaratnya. Dana asing hanya boleh dipakai membeli ARV berlisensi Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan harus bebas pajak. Pemerintah ternyata tak bisa menggunakan dananya untuk membeli ARV buatan PT Kimia Farma—satu-satunya perusahaan farmasi di Indonesia yang mampu membuat antiretroviral. Soalnya, produk Kimia Farma belum berstandar WHO.

Impor terpaksa dilakukan pemerintah. Untuk itu, Departemen Kesehatan harus mengurus pembebasan pajak ke Departemen Keuangan. Proses administrasi panjang di birokrasi inilah yang sering membuat ARV tertahan di bandara. Tentu saja ini ikut menyumbang terjadinya kelangkaan.

Cara pengadaan obat penting itu perlu dibenahi. Agar jumlah obat tidak kurang, pemerintah secara berkala perlu mengumpulkan data dari bawah, misalnya dari lembaga swadaya masyarakat, pusat kesehatan, dan lembaga lainnya. Patokan jumlah obat yang dibutuhkan perlu terus diperbarui.

Pemerintah juga mesti transparan dalam penggunaan dana untuk ARV, baik dana anggaran negara maupun bantuan asing. Harus jelas jumlah obat impor dan buatan dalam negeri yang dibeli dengan dana yang tersedia. Publik pun, terutama yang punya kepentingan langsung dengan obat tersebut, bisa ikut mengawasi pengadaannya.

Selain itu, pemerintah sebaiknya memberikan fasilitas dan kesempatan kepada Kimia Farma untuk memproduksi ARV lebih banyak. Walau belum berstandar WHO, buatan Kimia Farma sudah terbukti berfungsi baik menjaga kesehatan pengidap HIV/AIDS. Harganya pun lebih murah.

Pengadaan dan distribusi ARV mesti seiring dengan perbaikan penanganan HIV/AIDS. Virus yang menyerang sistem imunitas tubuh itu merupakan ancaman nyata. Jumlah yang terinfeksi HIV di negeri ini, sampai Agustus lalu, mencapai 270 ribu orang. Ini angka lembaga dunia. Tapi, menurut Departemen Kesehatan, sampai September sekitar 14 ribu penderita yang menjalani pengobatan.

Andai dua data itu benar, artinya masih banyak penderita yang belum terjangkau. Ini ancaman serius: kelompok yang terlewat itu merupakan sumber penularan baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus