Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Antropologi Bumbu Nusantara

1 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAIN suku dan bahasa, masakan merupakan bukti kebinekaan Indonesia. Tidak ada negara yang memiliki ragam kuliner sekaya kita. Keragaman itu memiliki akar sejarah panjang. Politik dan keadaan ekonomi suatu daerah sangat menentukan variasi makanan penduduk. Kali ini majalah Tempo rehat sejenak bicara karut-marut politik yang semakin kurang sedap. Kami meliput "politik" yang lebih gurih: sejarah dan politik di balik sejumlah bumbu. Ini bolehlah disebut edisi "antropologi" bumbu.

Laporan kali ini tidak hanya membahas makanan yang tersaji di atas meja. Kami melacak lebih jauh: bagaimana masakan di suatu daerah tercipta.

Bermacam masakan di Indonesia ini tentu saja tidak muncul begitu saja. Pengaruh alam yang berbeda-beda, perjalanan sejarah, faktor ekonomi dan politik, bahkan agama ikut mempengaruhi ragam masakan. Inilah yang menyebabkan masakan di berbagai daerah sangat jauh berbeda. Keberagaman makanan merupakan simbol dari perbedaan kultur manusia dan alam Indonesia.

Kekayaan jenis dan ragam masakan ini, sayangnya, tidak berbanding lurus dengan kesadaran pemerintah untuk mendokumentasikannya. Hanya ada beberapa buku kecil masakan Indonesia yang diterbitkan pemerintah, tapi isinya terlalu miskin. Selain mencakup sangat sedikit ragam masakan itu, kajiannya cuma terfokus pada makanan jadi. Dokumentasi itu tak lebih seperti buku resep yang sangat kering.

Dokumentasi sebenarnya akan berbicara banyak. Dari sana kita bisa mengetahui bagaimana sebuah masakan muncul di masa lalu, berkembang, dan mengalami perubahan. Dari catatan yang lengkap, pemerintah seharusnya mampu menentukan standar masakan-masakan itu. Standardisasi ini penting untuk menjaga kualitas masakan Indonesia—terutama yang disajikan di berbagai restoran.

Standardisasi berbeda tujuannya dengan penyeragaman—yang mesti kita tolak. Penetapan ukuran merupakan usaha menentukan kualitas minimum dan prosedur wajib dalam pembuatan makanan. Rendang, misalnya, mesti tetap beragam—dari gaya Payakumbuh sampai Pariaman. Tapi prosedur pembuatan dan bahan-bahan setiap gaya itu harus tepat. Dengan adanya standardisasi, tak boleh ada restoran Indonesia menyajikan rendang dengan santan yang tidak terkaramelisasi sempurna—karena memakai kelapa muda.

Pemerintah Prancis memberlakukan standardisasi itu, misalnya, pada industri wine dan pembuatan keju. Dalam aturan yang dibuat pada 1935 itu, pemerintah Prancis dengan ketat menentukan standar dan prosedur pembuatan agar kualitas wine terjaga. Thailand melakukan hal yang sama. Setiap kali restoran Thai dibuka di luar negeri, kedutaan besar Thailand akan mengirim resep standar masakannya.

Pemerintah Indonesia terkesan tak punya "waktu" merawat dan memanfaatkan kekayaan masakan ini. Buktinya, sebagian besar sekolah tata boga atau perhotelan tidak memasukkan masakan Nusantara ke kurikulumnya. Para calon chef Indonesia malah hanya belajar masakan Eropa, Jepang, atau Tionghoa. Mereka diharapkan mampu memasak makanan Indonesia secara otodidaktik. Hanya sedikit sekolah yang mengajarkan kuliner Nusantara.

Walhasil, makanan Indonesia belum menjadi "duta besar" di luar negeri. Padahal kita sudah memiliki rendang, yang dinobatkan oleh stasiun televisi beken CNN sebagai satu dari 50 masakan terlezat di dunia. Wisatawan asing baru tertarik pada masakan Indonesia setelah mengunjungi negeri ini. Sementara itu, Malaysia sudah lama serius mempromosikan makanan sebagai salah satu daya tarik turisme.

Tahun depan, Indonesia akan memasuki era yang lebih bersaing dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. Persaingan antar-industri, termasuk industri kuliner, pasti semakin ketat. Akan banyak rumah makan dan produsen makanan negara tetangga yang membuka cabang di Indonesia. Saat ini saja, sebelum era pasar bebas ASEAN itu dimulai, di sini banyak rumah makan Malaysia, Thailand, bahkan Vietnam. Pada saat yang sama, tak mudah menemukan restoran Indonesia di Thailand, apalagi di Vietnam.

Sebenarnya, dalam pemerintahan lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sudah mempersiapkan cetak biru industri kreatif, termasuk kuliner. Arah industri kreatif dalam 25 tahun mendatang juga sudah dirancang. Kerja keras yang melibatkan banyak ahli dan praktisi kuliner itu akan sia-sia jika pemerintah Joko Widodo tak segera membentuk badan ekonomi kreatif. Badan itu semestinya berada di bawah presiden, setelah masalah ekonomi kreatif tidak lagi ditangani kementerian.

Kreativitas mengolah bumbu akhirnya bukan hanya soal rasa atau daya saing, tapi juga menentukan adab sebuah bangsa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus