Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA saatnya kekacauan di partai politik tak terelakkan. Yang terjadi pada Partai Golkar, dengan sekurang-kurangnya dua kubu bersitegang, merupakan konsekuensi tarik-menarik kepentingan dan hasrat berkuasa serta mempertahankan kedudukan—sesuatu yang bisa muncul kapan saja.
Betapapun keras benturan konfliknya, selalu ada mekanisme internal yang memungkinkan masalah bisa dihalau. Keyakinan pada kemampuan organisasi itulah yang bisa dipastikan menjadi pendorong berbagai upaya para elite Golkar sendiri. Kalaupun masing-masing punya motif macam-macam, secara merdeka atau terkait dengan kubu-kubu yang terlibat, implikasi langsungnya hanya akan berlaku bagi Golkar jua. Dan ini lebih baik ketimbang kekuatan dari luar yang tiba-tiba merasa perlu campur tangan.
Sayangnya, justru "gatal tangan" untuk mengintervensi itulah yang dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. Berdalih demi menghindarkan gangguan keamanan pada musim pariwisata menjelang akhir tahun, dia meminta Kepolisian Republik Indonesia melarang penyelenggaraan Musyawarah Nasional Golkar di Bali. Musyawarah dijadwalkan berlangsung di Nusa Dua, Ahad pekan lalu.
Tedjo memang belakangan "mengoreksi" kabar permintaan larangan itu. Dia mengaku hanya mengimbau Golkar menunda pelaksanaan musyawarah "demi kepentingan nasional yang lebih besar". Tapi, kalaupun apa yang dikatakannya bisa diterima, kerusakan sudah terjadi, dan kesan bahwa Tedjo sedang menjalankan agenda pemerintah untuk memaksakan suatu keadaan ke dalam tubuh Golkar sudah telanjur terpapar.
Keadaan yang dimaksud itu adalah terwujudnya perubahan kepemimpinan. Dengan figur baru yang berasal dari kubu yang berseberangan dengan kubu Aburizal Bakrie, ketua umum sekarang, Golkar berpeluang "lompat pagar" meninggalkan koalisi pendukung Prabowo Subianto. Sudah luas diketahui, kubu yang menolak pencalonan kembali Aburizal adalah simpatisan koalisi pendukung Presiden Joko Widodo. Mudah diduga ke mana kubu ini akan berlabuh jika sukses mengambil alih kendali partai.
Bertambahnya kawan yang terhitung berpengalaman dalam percaturan politik tentu bakal menguntungkan kubu Jokowi. Dari perimbangan jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, akan ada tambahan 91 kursi—yang serta-merta bisa membalikkan peta kekuatan. Wajar bila Jokowi, atau siapa pun di pihaknya, tergoda merealisasi "janji surga" ini demi meminimalkan ancaman gangguan terhadap kebijakan pemerintah.
Masalahnya adalah kalau upaya untuk itu dilancarkan dengan meminjam kewenangan aparat pemerintah. Tidak hanya kasar dan sewenang-wenang, cara semacam ini akan mengembalikan bayangan Orde Baru ke dalam praktek pemerintahan. Pada zaman Soeharto berkuasa, intervensi pemerintah pusat, antara lain dengan langkah seperti yang dijalankan Tedjo, merupakan metode utama untuk memastikan partai politik tak berulah macam-macam.
Pada masa ketika demokrasi ditegakkan dengan sebenar-benarnya sekarang ini, akan lebih patut jika yang diutamakan adalah semacam gerakan politik yang pesannya jelas, masuk akal, dan persuasif. Tak perlu memaksa. Upaya menggaet dukungan suatu partai bisa dilakukan seraya membiarkan partai itu, terutama yang sedang dalam kemelut, mengandalkan mekanisme internal organisasinya untuk menyelesaikan konflik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo