Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo semestinya tidak mengirim surat kepada para menterinya untuk tidak memenuhi panggilan Dewan Perwakilan Rakyat. Kendati surat berklasifikasi rahasia ini kemudian "dicabut" secara lisan oleh Presiden, pekan lalu, perintah itu tetap saja patut dipertanyakan.
Surat yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto tertanggal 4 November 2014 itu ditujukan kepada para menteri, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Kepala Staf Angkatan, Kepala Badan Intelijen, serta Pelaksana Tugas Jaksa Agung. Dengan penegasan bahwa surat tersebut buat kalangan terbatas dan tidak untuk disebarkan, dalam layang itu tak disebutkan sampai kapan para pejabat dilarang memenuhi undangan DPR. Ditegaskan, "Surat Edaran ini agar segera dilaksanakan sampai ada arahan baru dari Bapak Presiden." Arahan baru ini agaknya adalah pernyataan pembatalan Jokowi yang disampaikan pekan lalu itu.
Alih-alih hanya terpendam di saku para menteri, layang rahasia ini tersebar ke mana-mana dan menjadi olok-olok anggota DPR. Rabu pekan lalu, ketika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly datang ke DPR untuk mengikuti rapat revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sejumlah anggota DPR menyindirnya sebagai menteri yang berani membangkang.
Presiden melarang menteri datang ke DPR dengan pertimbangan lembaga perwakilan itu tengah "kacau". Dikutip dalam surat itu, "Guna memberikan kesempatan kepada DPR melakukan konsolidasi kelembagaan secara internal."
Para legislator terbelah antara kubu pro-Prabowo, yang menyebut diri Koalisi Merah Putih, dan kubu pro-Jokowi, yang menamai diri Koalisi Indonesia Hebat. "Pertempuran" bahkan berimbas pada dualisme legislatif ketika kubu pro-Jokowi membuat "DPR tandingan" lantaran semua posisi pemimpin komisi dikuasai kubu pro-Prabowo.
Sebagai presiden, Jokowi bisa jadi memiliki pertimbangan lain, di luar yang "tersurat". Boleh jadi ia tak ingin disudutkan oleh salah satu kubu, jika para menterinya diterima kubu lain. Bisa juga dia sengaja "menahan" para menterinya sebagai cara "menekan" DPR agar segera menyelesaikan urusan internal mereka.
Tapi, apa pun alasannya, langkah Jokowi melarang para pembantunya memenuhi panggilan DPR adalah keliru. Betapapun DPR terbelah—kini bahkan disebut-sebut mulai "bersatu" lagi—tetap saja para menteri, bahkan presiden sekalipun, tak boleh menolak panggilan legislatif. Dalam kasus ribut-ribut DPR ini, suka atau tak suka, kubu pro-Prabowo-lah yang menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 memang sah "menguasai" alat kelengkapan DPR.
Pasal 73 ayat 2 undang-undang itu jelas menyatakan, "Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR." Parlemen bahkan bisa memanggil paksa jika pejabat eksekutif tidak hadir setelah tiga kali panggilan.
Di zaman serba canggih ini, surat rahasia yang dikirim Sekretaris Presiden dengan gampang akan bocor. Presiden, untuk hal-hal demikian, mungkin perlu pandai-pandai memilah: mana yang perlu pakai surat, mana yang cukup lisan saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo