Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dubai menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB ke-28.
Konferensi berhasil mengegolkan dana kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim.
Peran pemuda dan pemuka agama juga penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Fachruddin M. Mangunjaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delegasi RI dalam COP28, Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Dosen S-3 Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-28 (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, berakhir pada 13 Desember lalu. Konferensi ini dihadiri 147 kepala negara dan 85 ribu delegasi, termasuk para menteri, ilmuwan, masyarakat sipil, masyarakat adat, tokoh agama, aktivis, dan, yang penting, anak-anak muda. Mengapa pemuda dihadirkan? Perubahan iklim merupakan fenomena jangka panjang. Iklim adalah sebuah kondisi alam yang hanya dapat ditentukan solusinya melalui transisi ke energi ramah lingkungan. Sejalan dengan itu, iklim merupakan peristiwa perubahan yang berjangka puluhan tahun, bahkan ratusan tahun. Keunikan negosiasi ini adalah perlunya transfer dan dialog antar-generasi dalam mengantisipasi perubahan iklim. Ambisi untuk menurunkan emisi harus dilakukan secara kolektif, terbuka, dan melibatkan semua pihak.
Dalam arena konferensi para pihak (COP), ratusan agenda, baik negara maupun masing-masing kelompok, dipaparkan dalam dialog multilateral ataupun acara-acara sampingan (side event). Dalam konferensi ini setidaknya ada 17 agenda utama yang dibicarakan, di antaranya upaya menurunkan emisi karbon yang menyebabkan perubahan iklim, adaptasi dan ketahanan terhadap iklim, peningkatan kapasitas, dana iklim, teknologi iklim, kerja sama untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), pendidikan generasi muda, serta gender. Acara ini juga membahas mekanisme pasar dan non-pasar serta upaya mitigasi dan solusi secara ilmiah.
Kondisi iklim dipengaruhi oleh letak geografis, topografi, dan yang paling penting keadaan atmosfer yang semakin tebal karena emisi gas rumah kaca dan suhu global yang memicu ketidakpastian. Kondisi inilah yang dapat menimbulkan anomali atau penyimpangan cuaca sehingga menjadi sangat ekstrem karena, salah satunya, pelepasan emisi karbon dari permukaan bumi.
Emisi karbon merupakan kata kunci dalam upaya negosiasi iklim. Sayangnya, emisi karbon tidak mudah dapat diturunkan karena, sekali manusia membakar karbon di bumi, yang seharusnya tetap berada dalam lapisan bumi, efeknya memicu ketidakseimbangan. Laporan Katherine Richardson dkk. dalam jurnal Science edisi 13 September 2023 menunjukkan bahwa, dari sembilan batas yang menjadi kunci operasional keseimbangan planet bumi (planetary boundary), enam di antaranya telah terlampaui. Semua kejadian ini disebabkan oleh manusia. Pengasaman laut hampir dilanggar, sedangkan pemuatan aerosol secara regional melebihi batas. Tingkat ozon stratosfer sedikit pulih. Sementara itu, peningkatan terjadi atas semua batas yang sebelumnya diidentifikasi sebagai telah dilampaui. Kajian ini didasarkankan pada permodelan sistem bumi yang bersandar pada berbagai tingkat pelanggaran, dari perubahan iklim hingga perubahan lahan yang berakar pada ulah manusia (antropogenik). Dalam dialog kerap muncul gagasan bahwa, selain inovasi dan teknologi, manusia perlu menjaga alam asli serta mencegah kepunahan. Karena itulah PBB mengimbau solusi dekade berbasis alam (nature-based solution) sebagai cara yang tepat.
COP28 menghasilkan kesepakatan penting yang disebut inventarisasi global (global stocktake) berupa hasil kesepakatan yang dinegosiasikan, yang digunakan masing-masing negara untuk rencana aksi iklim yang lebih ambisius dan akan dilaporkan pada 2025. Inventarisasi itu bersepakat bahwa emisi gas rumah kaca global perlu dikurangi 43 persen pada 2030, dengan tolok ukur tingkat emisi pada 2019. Kesepakatan ini muncul guna membatasi pemanasan global hingga 1,5 derjat Celsius. Dalam upaya ini, semua negara bersepakat segera bertindak guna mencapai ambisi tiga kali lipat dalam kapasitas energi terbarukan dan menggandakan peningkatan efisiensi energi pada 2030.
Ambisi ini dianggap penting karena kerusakan iklim memang tengah terjadi dan sudah berada di tengah peradaban manusia. Oleh sebab itu, para pihak mencapai kesepakatan bersejarah tentang operasionalisasi dana kerugian dan kerusakan (lost and damage fund) dengan pengaturan pendanaan—pertama kalinya keputusan substantif diadopsi pada hari pertama konferensi dengan total dana lebih dari US$ 700 juta. Ada juga kesepakatan bahwa akan ada kantor PBB untuk pengurangan risiko bencana serta kantor PBB untuk layanan proyek sebagai tuan rumah sekretariat dana kerugian dan kerusakan. Institusi ini akan memberikan bantuan teknis untuk negara-negara berkembang yang sangat rentan terhadap dampak buruk perubahan iklim.
Negosiasi juga berhasil meningkatkan kerja sama dalam komitmen pendanaan iklim. Dana Iklim Hijau (GCF) mendapat komitmen dari enam negara yang memberi janji pendanaan baru di COP28 dengan total mencapai rekor US$ 12,8 miliar dari 31 negara. Selain itu, delapan donor mengumumkan komitmen baru untuk berkomitmen membantu negara miskin dan kurang berkembang dengan dana iklim yang mencapai lebih dari US$ 174 juta ditambah dana adaptasi yang mencapai hampir US$ 188 juta.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, konferensi menghadirkan secara keseluruhan peran para pemeluk agama. Sebuah paviliun khusus yang besarnya tiga kali lipat dari paviliun biasa dihadirkan dalam acara paralel di Paviliun Agama di tengah negosiasi yang dilakukan para pihak. Para pemuka agama ini akan mengelola 1,5 juta proyek yang berhubungan dengan iklim dan dapat berkontribusi besar dalam upaya mencegah perubahan iklim.
Di paviliun agama inilah masing-masing keyakinan berupaya menunjukkan kinerja mereka yang berkaitan dengan banyak hal, dari teologi dan pandangan tentang perubahan iklim hingga filantropi agama. Organisasi keagamaan dianggap berperan penting dalam memberikan perhatian pada isu-isu agama dan lingkungan hidup, terutama perubahan iklim. Di Indonesia, kiprah mereka sudah terbukti dengan kehadiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang berkontribusi untuk kesejahteraan sosial dan perdamaian—hal yang sewajarnya juga dalam ikhtiar menjaga lingkungan hidup serta penanggulangan perubahan iklim.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo