Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Anak-anak Korban Perumnas

Muntaber berjangkit, 17, anak meninggal lingkungan yang kotor dan air minum adalah penyebabnya. (nas)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUANGAN II A Rumah Sakit Pirngadi di Jalan Prof. Yamin, Medan, Jumat sore pekan lalu, mendadak hiruk pikuk. Jerit tangis di ruang yang mirip tempat pengungsian darurat itu menambah sesak ruang yang diisi melebihi kapasitasnya. Ruang yang mestinya untuk 32 pasien kini dijejali sampai 80 orang penderita muntaber (muntah berak). Tak cukup di tempat tidur penderita juga terpaksa diserak di meja kerja perawat. Hari itu tak kurang dari 262 penderita, yang kebanyakan anak-anak berusia 2 sampai 6 tahun, masih terus menunggu giliran pengobatan di lorong ruangan itu. Tapi, sejak Sabtu-nya hingga Senin pekan ini, anak-anak yang meninggal sudah 17 orang. Semua korban adalah penduduk Perumnas Medan II dan sekitarnya di Mandala, Medan. Sampai Jumat pagi jumlah penderita sudah diketahui 16 orang. Tapi kepala Seksi P2M Dokabu Kabupaten Deli Serdang, dr. M. Sitorus, mengetahui kejadian di Perumnas Mandala itu setelah baca koran terbitan Sabtu. "Petugas di puskesmas yang bertugas di sana tidak melaporkan ada penderita muntaber karena yang berobat baru 10 orang," ucap Sitorus. "Mereka mungkin tak menyangka korbannya akan menyusul begitu banyak." Sampai Senin sore pekan ini di Mandala sudah dibentuk empat pos komando untuk melakukan suntikan massal. Air perigi sebagai pengganti air minum eks PAM Tirtanadi yang menetes-netes diteliti. Air ini diduga jadi sumber utama wabah itu. "Lingkungan di sana sudah sangat jorok sebenarnya sudah lama kami meramalkan bahwa muntaber sewaktu-waktu bisa muncul," ucap dr. Masrul Siregar, S.K.M. Tapi ramalan kepala Bidang Pelaksana Penyakit Menular Kanwil Depkes Sum-Ut itu tak pernah ada yang menanggapi. Ir. Syahrum Rasali, 40, kepala Perum Perumnas Medan, mengakui bahwa penghuni Perumnas Mandala sebagian kurang menghiraukan kebersihan lingkungan. Misalnya, mereka membuang tinjanya ke parit lewat pipa (riol) yang ditanam dari septictank ke parit terbuka di depan rumah. Tinja dan airnya tak ditampung di sebuah kolam, karena tak ada kolam penampungan seperti di Perumnas Tengerang. Ketika datang banjir pekan lalu, tinja itu pun "bertandang" ke rumah penduduk sekitarnya melimpah dari parit terbuka itu. Barangkali ini yang menyebabkan korban 17 anak-anak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus