Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Zoot

Nasib merupakan kepercayaan kuno dan bukan kesadaran modern. Nasib hanya dongeng yang dibangun untuk kepentingan golongan atas, agar posisi mereka tak diganggu, agar ketidaksamaan langgeng, dll. (ctp)

11 Agustus 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMAN saya Zoot meniup saksofonnya, berdiri dalam gelap dengan lagu yang agak sedih. Traw-traw-traw-traw-traw.... Orkes memainkan Fool on the Hill tanpa penyanyi, sementara para tamu, di bawah lampu agak remang, berbisik antara mereka sendiri. Tiap malam suasana begitu terus di klub itu, dan tiap malam teman saya Zoot pulang setelah pukul 01.00 dengan jaket berbau rokok. Di pintu rumah kontraknya selalu ia baca huruf pada poster itu: "Silakan masuk John Lennon". Tentu saja teman saya Zoot bukan John Lennon. Ia tak kawin dengan Yoko Ono, ia tak ditembak di depan apartemen yang sangat mahal, mengeluarkan darah jingga dan jadi monumen. Teman saya Zoot kawin dengan Siti Saodah, 22, anak instalatir listrik di Karet Tengsin. Dan di depan rumah mereka tak ada mimpi dan tak ada padang murbei. Kenapa demikian, teman saya Zoot? Karena nasib, jawabnya. Dalam barisan panjang manusia ini, aku hanya seorang prajurit Napoleon. Adapun Napoleon, tiap berangkat perang, memberi semangat pada para serdadunya dengan cara yang unik: mereka harus menyimpan, dalam ransel mereka, sebatang tongkat marsekal. Itu semacam tanda, dan jua janji, bahwa dengan berjuang keras suatu hari mereka bisa saja jadi perwira tinggi di pucuk itu. Tentu saja itu cuma bulukan, kata teman saya Zoot. Sebab, mustahil semua prajurit bisa jadi jenderal - meskipun tiap orang, yang mana saja d antara mereka, memang dapat mencapai tingkat itu (asal kombinasi sedang cocok). Hadirnya seorang marsekal mengisyaratkan adanya sejumlah prajurit yang berpangkat bukan marsekal. Bayangkan satu pasukan yang semua anggotanya brigjen, ha-ha-ha-ha, kata teman saya Zoot. Karena itulah aku percaya pada nasib dan kawin dengan Siti Saodah. Teman saya Zoot memang tampaknya punya kepercayaan yang kuno. Ia menerima nasibnya. Mungkin ia tak tega melihat semua anak muda jadi John Lennon - marsekal para pemain musik itu, yang duduk anggun tinggi di kursi antik Mesir yang dibelikan istrinya 5.000 dolar. Seperti mumi. Dan tiap malam teman saya Zoot meniup saksofonnya, sebagai pencari nafkah. Beberapa hari yang lalu saya katakan kepadanya bahwa ia bersalah. Percaya pada nasib bukanlah kesadaran modern, kata saya. Ideologi-ideologi abad ke-20 meneruskan kecurigaan, bahwa nasib hanya dongeng yang dibangun oleh kepentingan-kepentingan golongan yang di atas. Agar posisi mereka tak diganggu. Agar ketidaksamaan langgeng. Nasib adalah sesuatu yang reaksloner, kata saya. Kita harus berdiri pada optimisme - ini pun tanda abad ini - bahwa nasib itu bisa dikalahkan. Malam itu, setelah mendengar pidato saya, Zoot membuka pintu rumah kontraknya dan melangkah ke luar diam-diam. Kemudian ia kembali, mengamit saya dan menunjukkan bukit-bukit di arah Puncak. Lihat itu, katanya. Sepuluh tahun yang lalu bukit-bukit itu sepi. Tak banyak orang punya vila di sana. Sebagian besar orang masih percaya bahwa ada yang muJur dan ada yang tidak - hingga ada yang bisa membangun vila dan ada yang tak membangun apa-apa. Kini kepercayaan itu tampaknya runtuh. Semua orang berlomba menempati sepetak tanah di sana - para prajurit Napoleon yang malang. Apa akibatnya? Jika nanti semua orang berada di sana, masing-masing mereka akan kehilangan suasana tenang dan senyap, yang justru hendak didapat dari sebuah vila di bukit luar 3 kota. Itulah, jika kau lupa, the social limits to growth dari Profesor Hirsch, kata teman saya Zoot. Di zaman ini dunia jadi tegang karena sukses. Produksi barang dan jasa meningkat hebat, kemungkinan untuk menikmatinya tampaknya terbuka lebar, dan hasrat serta aspirasi pun menggebu-gebu. Tapi, dalam kenyataannya, sementara di satu pihak aspirasi itu kian menjangkiti siapa saja, di lain pihak kesempatan toh tak mungkin bagi siapa saja. Demokrasi dan sosialisme telah memeratakan keinginan yang tidak-tidak. Ah, saya setengah jengkel setengah putus asa kepada teman saya Zoot. Ia telah mengajarkan (setidaknya buat dirinya sendiri) suatu sikap yang akan membikin masyarakat beku, ketidakadilan jadi panjang, dan individu ringsek dalam kepompong masing-masing. Seperti kepompong Zoot: sebuah sudut, sebuah orkes sebuah suasana klub tempat ia berdiri daiam gelap meniup saksofon. Traw-traw-traw....Jika tak ada lagi yang percaya pada nasib dan suratan tangan, tak akan ada lagi yang mau di sini, memainkan orkes - demikian katanya. Dan Zoot pun memainkan, malam itu, sesuatu yang lebih kuno, sesuatu yang dulu sering kami dengar dari radio Bapak, Keroncong Sapu Lidi, buat Saodah. Lalu: I Wonder who's kissing her now. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus