Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Badut Politik Penjaringan Capres

Sementara Ganjar Pranowo tak kunjung mendapatkan tiket pemilihan umum, Anies Baswedan terancam gagal menjadi calon presiden 2024.

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUVER elite partai politik dalam menjaring bakal calon presiden 2024 menunjukkan bahwa mereka tak peduli dengan masa depan demokrasi yang terus mengalami regresi. Alih-alih menjaring figur terbaik demi kepentingan publik, elite partai lebih sibuk menimang bakal calon yang paling menguntungkan mereka untuk merebut kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah yang membuat koalisi sementara partai penyokong Anies Baswedan terancam ambyar. Setelah mencuri start dengan mendeklarasikan bekas Gubernur DKI Jakarta itu sebagai bakal calon presiden, Partai NasDem kini kesulitan meyakinkan para sekutunya. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera memang menyiratkan dukungan terhadap Anies. Tapi mereka saling mengunci dengan memaksakan tokoh partainya menjadi calon wakil presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi para juragan partai, politik jadi sekadar urusan mempertahankan kekuasaan. Bila peluang menang dengan bertarung sendirian mengecil, mereka berkoalisi dengan partai mana pun, tanpa peduli ideologi dan platform. Perilaku seperti itu jelas jauh dari gagasan bahwa politik adalah ikhtiar untuk memaksimalkan kemaslahatan bersama.

Partai menengah dan gurem berlomba mendekati figur yang menunjukkan elektabilitas tinggi bukan untuk mengartikulasikan kehendak masyarakat. Sebaliknya, elite partai mendekati tokoh populer untuk mendapatkan tambahan suara dari pendukung sang tokoh. Mendapatkan “efek ekor jas” dari pesona seorang tokoh adalah jalan pintas bagi partai yang tidak mengakar.

Dengan jurus yang agak berbeda, elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pun bermanuver demi kepentingan yang itu-itu juga. Alih-alih mendukung Ganjar Pranowo, kader partai banteng yang memiliki elektabilitas tinggi, elite PDI Perjuangan berupaya memuluskan jalan bagi Puan Maharani, putri Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Sulit dibantah bila ada yang menyebut pencalonan Puan dalam pemilihan presiden kelak sebagai upaya melanggengkan dinasti Megawati saja.

Partai sebesar PDI Perjuangan boleh jadi tak terlalu bergantung pada “efek ekor jas”. Tapi itu tak berarti PDI Perjuangan bakal mencari calon presiden terbaik untuk kepentingan publik. Katakanlah pada akhirnya PDI Perjuangan mencalonkan Ganjar Pranowo, maka kecil kemungkinan perubahan sikap itu terjadi karena pertimbangan kemaslahatan wong cilik.

Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, dengan segala cara, para juragan partai akan berusaha meraih dukungan pemilih. Tapi, setelah pemilu selesai, para politikus itu segera melupakan pemilihnya. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan memunggungi konstituen. Kita masih ingat bagaimana mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengabaikan protes masyarakat atas revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Cipta Kerja, dan undang-undang kontroversial lain. Seperti tanpa dosa, partai dan politikus yang dulu mengadu domba pemilih pun kini telah duduk satu meja menikmati hidangan kekuasaan.

Elite partai telah membajak demokrasi demi memupuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka sulit diharapkan menjadikan pemilu sebagai ajang demokrasi yang lebih substantif, yang bisa membuat partisipasi pemilih lebih bermakna. Karena itu, para pemilih harus bersikap lebih rasional.

Pemilih perlu lebih melek politik agar tak mudah ditipu partai atau calon presiden mana pun. Filter paling sederhana, jangan memilih partai atau calon presiden yang berkampanye dengan mencabik kehidupan bersama, terutama dengan memakai isu etnis dan agama. Dua pemilu presiden terakhir telah memberi pelajaran yang amat mahal. Pembelahan politik yang diperuncing dengan isu agama begitu besar daya rusaknya bagi kebinekaan.

Agar tak terjebak pada kesalahan serupa, kita perlu lebih rileks menyambut perhelatan politik 2024. Tak usah buang-buang energi dengan mengikuti genderang elite partai saat ini. Anggap saja mereka badut. Tertawakan saja. Tapi, bila saatnya pemilu tiba, rakyat layak menghukum politikus yang berkhianat dengan tidak memilih partai serta calon presidennya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus