Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RIWAYAT Syafruddin Prawiranegara menjadi bukti betapa sejarah kerap dimanipulasi menurut selera penguasa. Berpuluh tahun pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) itu dicap "hitam" oleh rezim masa lalu. Pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya mudah-mudahan merupakan bagian dari ikhtiar meluruskan sejarah. Tan Malaka, "Bapak Republik" yang lain, sepatutnya pula tak dikerdilkan.
Gelar untuk Syafruddin akhirnya diberikan setelah namanya tiga kali diusulkan ke pemerintah pusat. Dewan Gelar memberikan anugerah serupa kepada enam orang lain: Idham Chalid, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Ki Sarmidi Mangunsarkoro, I Gusti Ketut Pudja, Sri Susuhunan Pakubuwono X, dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20/2009, tak ada keraguan Syafruddin pantas menerimanya. Ia memenuhi syarat umum kandidat pahlawan nasional: sudah berjuang, berjasa, setia kepada bangsa dan negara, memiliki integritas, serta tidak pernah dipidana penjara lebih dari lima tahun. Adapun syarat khusus yang digariskan undang-undang: pernah memimpin perjuangan; merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan; serta memiliki gagasan besar bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Jasa Syafruddin dalam sejarah Republik jelas tak kecil. Dia pernah memimpin PDRI di pedalaman Sumatera Barat, tiga hari setelah Belanda melakukan Agresi Militer Kedua dan melumpuhkan ibu kota negara, Yogyakarta, pada 19 Desember 1949. Pendirian PDRI pun inisiatif murni Syafruddin. Sebab, telegram penyerahan mandat untuk memimpin pemerintahan dari Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang kala itu ditangkap Belanda, tak pernah sampai kepadanya.
Melalui Radio Rimba Raya, PDRI berhasil mengumandangkan perjuangannya ke dunia internasional. Belanda akhirnya dipaksa maju ke meja perundingan dan melepaskan Sukarno-Hatta dari pengasingan. Sejarah mencatat, selama 207 hari hingga 14 Juli 1949, Syafruddin memimpin pemerintahan darurat yang menjaga kelangsungan revolusi kemerdekaan. Itu sebabnya Hatta pun dalam memoarnya mengakui Syafruddin sebagai presiden pemerintahan darurat.
Namun peran besarnya itu belakangan dilupakan, bahkan dikaburkan. Syaf dicap oleh Sukarno sebagai pemimpin gerakan pemberontakan dan masuk bui, setelah ia menjadi Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yang didirikan pada 1958. Di masa Orde Baru, ia pun masuk "daftar hitam" lantaran ikut menandatangani "Petisi 50", yang memprotes gaya kepemimpinan Soeharto.
Kini "kesalahan" sejarah itu tampaknya mulai direvisi. Seperti dituturkan Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri, pemberian gelar pahlawan nasional jelas merupakan pengakuan bahwa keterlibatan di PRRI bukanlah pemberontakan. Sebab, sejatinya aksi itu hanyalah tuntutan untuk mendapatkan otonomi daerah yang lebih luas, bukan aksi makar untuk mendirikan negara baru.
Tan Malaka merupakan contoh lain bagaimana satu nama besar telah dikerdilkan, hanya karena ia seorang (yang pernah) komunis. Padahal dialah tokoh pertama penggagas konsep Republik melalui tulisannya yang masyhur: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Kalimat "Indonesia tanah tumpah darahku" dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya juga dikutip W.R. Supratman dari Aksi Massa yang diterbitkan Tan pada 1926.
Karena itu, sungguh masuk akal bila Muhammad Yamin menjulukinya "Bapak Republik Indonesia". Sungguh janggal jika kita kini mengabaikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo