Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah penggambaran perubahan produk domestik bruto (PDB) suatu negara dari tahun ke tahun. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang kerap dikenal sebagai produk domestik regional bruto (PDRB). Keduanya mencerminkan seberapa banyak nilai barang dan jasa yang dapat dihasilkan suatu negara atau daerah dalam wilayah geografisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bank Dunia, hingga Badan Moneter Internasional memprediksi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, nilai produksi barang dan jasa diperkirakan turun. Hal ini disebabkan oleh, misalnya, turunnya daya beli dan rendahnya nilai ekspor.
Daya beli dan ekspor yang rendah secara tidak langsung menurunkan keuntungan industri. Omzet penjualan menurun sehingga mendorong pemangkasan produksi dan berdampak pada pengurangan tenaga kerja (efisiensi biaya produksi). Kondisi ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan masalah sosial. Contohnya, berbagai permasalahan sosial di Venezuela saat ini berawal dari akumulasi sejumlah permasalahan ekonomi di negara tersebut pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal ini, negara memegang peranan kunci karena segala kebijakan berasal dari pemerintah, termasuk kebijakan ekonomi yang akomodatif (fiskal, moneter, dan makroprudensial lainnya). Maka, pemerintah, baik pusat maupun daerah, wajib memiliki tim ekonomi yang kuat serta dapat merespons segala perubahan dengan cepat dan tepat.
Langkah BI menurunkan suku bunga acuan 7-day reverse repo rate, misalnya, merupakan salah satu kebijakan untuk menjaga perekonomian Indonesia melalui pelonggaran moneter. Begitu pula saat BI baru-baru ini menahan penurunan suku bunga. Logikanya, ekonomi dunia yang melambat berpotensi menurunkan nilai ekspor kita. Jika itu terus terjadi, defisit neraca berjalan (CAD) akan melebar dan berpotensi menggoyang rupiah ke nilai yang lebih rendah (depresiasi).
Inilah permasalahan kompleks yang dihadapi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, dan daerah-daerah. Setiap negara berusaha mengamankan performa ekonomi makronya dengan beragam cara, termasuk pelonggaran moneter melalui perubahan suku bunga acuan.
Indonesia boleh sedikit lega karena mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Nilai tukar kita cenderung stabil, inflasi terkendali, likuiditas mencukupi, rasio utang luar negeri terjaga, dan risiko kredit baik, walau kurang signifikan untuk membuat pertumbuhan menjadi lebih produktif sesuai dengan harapan.
Jika turbulensi global ini tidak direspons dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia menghadapi masalah yang serius karena kecenderungan arus modal keluar kita relatif masih tinggi. Risiko yang mungkin timbul akibat potensi overinvestment di tengah kelesuan ekonomi global juga perlu mendapat perhatian.
Jadi, memang ada beberapa poin penting yang perlu dicatat dan diperkuat oleh pemerintah dari sisi pertumbuhan ekonomi, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Pertama, dari sisi neraca berjalan, perlu upaya yang konsisten untuk menyeimbangkan ekspor dan impor sehingga CAD dapat dipersempit.
Kedua, dari sisi kebijakan moneter, fiskal, dan makroprudensial, diperlukan konsentrasi tinggi dalam mengupayakan berbagai kebijakan untuk memitigasi potensi risiko ketidakseimbangan keuangan, menjaga iklim investasi, dan meminimalkan risiko sistemik intersektoral. Ketiga, dari sisi neraca modal, diperlukan upaya berkelanjutan untuk menjaga dan memperkuat keseimbangan arus modal masuk dan keluar.
Kompleksitas masalah tersebut membuat pemerintah sulit mengembangkan kebijakan-kebijakan yang terlalu agresif (baca: menyerang) dalam jangka pendek. Pilihan bertahan dengan perhitungan yang terukur melalui sejumlah kebijakan yang responsif akan lebih baik. Kebijakan yang terlalu agresif berpotensi meningkatkan risiko sistemik apabila tidak diikuti oleh peta jalan antisipasi yang matang. Terlalu defensif juga tidak baik karena berpotensi menggerus pertumbuhan.
Respons yang cepat dan tepat berupa kebijakan-kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi perlu diprioritaskan dalam jangka pendek. Menahan suku bunga acuan merupakan bagian dari penyikapan moneter yang tepat. BI juga harus terus berupaya memperkuat operasi moneter (memastikan ketersediaan likuiditas) serta transmisi kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif, termasuk kebijakan sistem pembayaran dan pendalaman pasar keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita perlu mengapresiasi upaya-upaya BI tersebut dan berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama, efek positifnya dapat dirasakan.
Namun potensi risiko sistemik tetap akan tinggi apabila lebih dari separuh PDB Indonesia hanya disumbangkan oleh beberapa provinsi dan cenderung terpusat di Jawa. Maka, selain pertumbuhan secara umum, pertumbuhan yang berkualitas perlu terus-menerus diupayakan. Logikanya, negara akan memiliki fundamental ekonomi yang kuat apabila ditopang oleh distribusi sumber pertumbuhan yang merata. Jadi, diperlukan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dan peningkatan nilai tambah produksi. Percepatan penghiliran industri menjadi poin penting dalam konteks ini.