Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah hukum yang tidak elok ditempuh Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam. Ia menggugat saksi ahli Basuki Wasis, yang menghitung kerugian lingkungan akibat izin tambang yang dikeluarkan sang Gubernur. Hakim Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor, yang menangani perkara ini harus menampik gugatan serampangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan Nur Alam, yang telah divonis 12 tahun penjara dalam kasus korupsi perizinan tambang, tidaklah berpijak pada aturan hukum. Ia mengabaikan imunitas saksi yang terang-benderang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Prinsip ini dimuat pada pasal 10 undang-undang tersebut: saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan atau kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesaksian Basuki justru merupakan terobosan penting dalam mengungkap korupsi perizinan tambang. Dosen Institut Pertanian Bogor ini diminta Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung nilai kerugian ekologis akibat izin usaha tambang untuk PT Anugrah Harisma Barakah di Sulawesi Tenggara. Selama ini, hanya uang negara yang bocor atau potensi penerimaan yang hilang yang dihitung dalam kasus korupsi. Dalam kalkulasi Basuki, total nilai kerugian lingkungan akibat pertambangan nikel PT Anugrah di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana mencapai Rp 2,7 triliun.
Sayang, kerugian ekologis ini tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memvonis Nur Alam. Ia pun dihukum lebih ringan daripada keinginan jaksa, yang menuntut 18 tahun penjara. Politikus Partai Amanat Nasional itu hanya dinyatakan bersalah karena terbukti menyalahgunakan wewenang dan memperkaya diri sendiri dalam pemberian izin tambang PT Anugrah yang merugikan negara Rp 1,5 triliun. Nilai kerugian negara ini tidak memasukkan kerugian lingkungan yang dihitung Basuki. Karena itulah jaksa KPK kemudian mengajukan permohonan banding, langkah yang juga diambil terpidana dengan alasan berbeda.
Proses hukum kasus Nur Alam yang masih berjalan membuat kesaksian Basuki tetap relevan. Hakim pengadilan banding sebaiknya mempertimbangkan penghitungan kerugian ekologis dalam kasus korupsi izin tambang ini. Komisi antikorupsi bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pun perlu sekuat tenaga memproteksi Basuki. Kedua lembaga ini harus melindungi saksi ahli itu dari segala bentuk ancaman sekaligus membelanya dari gugatan Nur Alam.
Tak hanya melecehkan saksi, dengan gugatan ini, Nur Alam sebetulnya juga mengabaikan hak warga negara yang peduli terhadap kerusakan lingkungan. Hak ini dijamin dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup. Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana ataupun digugat secara perdata.
Dalil yang diajukan Nur Alam pun lemah. Ia menuduh Basuki telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan tergugat. Gugatan yang berpatokan pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ini amat mengada-ada karena Basuki sama sekali tidak melakukan perbuatan melawan hukum. Ia diminta resmi oleh KPK menjadi saksi ahli. Dalam sidang pengadilan pun dia membeberkan kesaksian di bawah sumpah.
Pembelaan terhadap Basuki amat penting demi memuluskan pengungkapan kasus korupsi serupa yang berikatan dengan izin pertambangan. Jangan sampai gugatan terhadap Basuki menjadi preseden buruk yang menyebabkan orang enggan bersaksi untuk membongkar korupsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo