Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berbagi Tugas Mengawal Ekonomi

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni Puspa Purbasari*

Tahun 2015 pasti menjadi tahun paling memusingkan kepala bagi para ekonom Indonesia setelah 2008: pertumbuhan ekonomi melemah, inflasi naik, dan rupiah tertekan. Perlu solusi komprehensif dan terukur yang tidak hanya melibatkan domain ekonomi. Situasi ini menegaskan perlunya leadership dan kompetensi dalam kebijakan ekonomi Indonesia.

Meski Federal Reserve, bank sentral Amerika Serikat, belum juga menaikkan target suku bunga acuannya-yang sejak 2008 masih bertengger antara 0 dan 0,25 persen-ini tidak berarti gonjang-ganjing di sektor keuangan berhenti. Yunani, Puerto Riko, dan pasar saham Shanghai satu per satu membawa berita buruk terhadap pelaku pasar, yang bila digabungkan dengan kinerja ekonomi Amerika yang lumayan pada Juni lalu bisa membuat dolar menguat.

Bila pemulihan ekonomi Amerika berlanjut, Federal Reserve diperkirakan menaikkan suku bunga satu-dua kali dalam tahun ini, pada September dan Desember. Mengantisipasi itu, imbal hasil obligasi pemerintah Amerika mulai naik, modal pun keluar dari negara-negara lain dan masuk ke Amerika. Akibatnya, dolar menguat dan mata uang lain, termasuk rupiah, melemah.

Di satu sisi, melemahnya rupiah ini "bermanfaat" mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Namun, di sisi lain, depresiasi rupiah-pada tingkat tertentu-juga dapat semakin memperbesar keluarnya dana-dana asing. Sejak awal tahun hingga hari ini, rupiah secara nominal sudah melemah 6,92 persen atau 12,5 persen year on year. Bagi investor asing yang menginvestasikan dananya di obligasi pemerintah Indonesia, laju depresiasi sebesar itu membuat margin yang dia peroleh tinggal 1,3 persen, atau lebih rendah daripada imbal hasil obligasi pemerintah Amerika. Karena investor adalah pencari yield, depresiasi rupiah yang cukup tajam akan mendorong asing-yang menguasai 39 persen obligasi pemerintah senilai Rp 517 triliun-meninggalkan Indonesia.

Karena sentimen negatif investor terhadap rupiah bisa menjadi faktor yang turut memicu keluarnya dana-dana dari Indonesia, Bank Indonesia sebaiknya tidak menurunkan tingkat suku bunga. Bila BI menurunkan suku bunga, rupiah akan semakin tertekan. Jika depresiasi rupiah terlalu cepat, kepercayaan masyarakat (bukan hanya asing) akan turun, ekspektasi inflasi meningkat, dan ongkos intervensi yang dibayar BI akan jauh lebih tinggi.

Yang rasional untuk dilakukan BI dengan demikian adalah menahan laju penurunan rupiah, dengan tetap mengacu pada nilai tukar riil rupiah dalam jangka panjang. Langkah ini perlu dilakukan meskipun bisa jadi akan menekan pertumbuhan ekonomi. Sinyal dan komunikasi BI tentang policy stance ini harus jelas dan konsisten. Pemerintah pun perlu mengerti akan pilihan BI ini, karena kebijakan fiskal tidak dapat banyak menolong dalam memitigasi dampak tekanan keuangan jangka pendek (Sahay et al., 2014).

Masyarakat juga perlu dijelaskan bahwa membandingkan nilai rupiah nominal hari ini dengan tingkat pada 1997 jelaslah keliru, karena Rp 13 ribu pada 1997 dengan Rp 13 ribu pada 2015 memiliki daya beli atau nilai tukar riil yang berbeda. Namun mengatakan ini sesungguhnya juga mengungkap fakta bahwa pemerintah dan BI belum berhasil menjinakkan inflasi.

Inflasi di Indonesia sejak 1997 hingga 2015 mencapai 450 persen. Angka ini jauh di atas Malaysia atau Thailand, yang selama periode yang sama inflasinya tidak lebih dari 60 persen. Muara dari kegagalan mengendalikan inflasi adalah tidak dipilihnya rupiah sebagai penyimpan nilai. Karena itu, tak aneh bila rasio tabungan terhadap produk domestik bruto di Indonesia, misalnya, hanya 30 persen. Sedangkan Thailand dan Malaysia masing-masing mencapai 114 dan 120 persen. Inflasi juga membuat rupiah akan selalu menjadi soft currency, bertekuk lutut di hadapan mata uang lain, dan terhenti pada fungsinya sebagai alat pertukaran saja.

Karena BI sulit menurunkan bunga demi menjaga stabilitas rupiah, tugas mendorong pertumbuhan ekonomi lebih banyak berada di pundak pemerintah. Namun ini juga tricky. Sama seperti BI yang tidak bisa begitu saja "mengedepankan stabilitas rupiah dengan memberikan insentif berlebihan kepada investor tapi overkill pertumbuhan ekonomi" atau sebaliknya "membiarkan rupiah terdepresiasi untuk mencapai stabilitas eksternal tapi membuat investor asing pergi", pemerintah juga tidak bisa menetapkan target pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi pada tahun ini. Juga tahun depan. Mengapa?

Ketika ekonomi melambat, target pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi membawa implikasi pada postur fiskal yang ekspansif-yang bisa jadi terlalu ambisius relatif terhadap penerimaan dalam negeri. Bila ini terjadi, pasar tahu bahwa pemerintah akan membutuhkan lebih banyak utang untuk menambal defisit, kalau tidak mau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tekor. Di situlah pasar kemudian akan memojokkan pemerintah dengan menuntut imbal tinggi. Tahun ini saja imbal obligasi pemerintah naik sampai lebih dari 80 basis point, meski Standard & Poors menaikkan outlook rating utang Indonesia.

Ihwal utang, kita harus belajar dari pengalaman negara-negara di zona euro yang tertimpa krisis pada 2009. Gara-gara utang pemerintah yang menumpuk, mereka terkena krisis. Ironisnya, negara-negara itu tidak bisa memberikan stimulus fiskal pada saat krisis, tapi justru harus melakukan penghematan anggaran.

Karena itu, APBN perlu disusun secara realistis, bahkan konservatif. Bangsa Indonesia akan sangat merugi bila setelah dikuranginya beberapa subsidi (yang membuat biaya hidup meningkat), defisit APBN atau utang masih saja besar dan alokasi belanjanya tidak produktif atau lambat.

Semua elite bangsa harus sadar bahwa saat ini adalah masa-masa prihatin-bukan lagi masa bonanza minyak, bonanza harga komoditas, atau bonanza aliran modal. Sangat disayangkan, dalam keadaan ketika nasib kesejahteraan 250 juta rakyat Indonesia sedang dipertaruhkan, para elite justru sibuk meminta jatah anggaran, bermanuver untuk mengamankan atau mencari jabatan, dan masih terus saja bereksperimen kebijakan.

Dalam dunia yang sudah tidak bersekat ini, investor mengikuti perkembangan, menilai, dan membandingkan respons kebijakan ataupun prospek ekonomi Indonesia relatif terhadap negara lain. India, misalnya, diganjar positif oleh pasar karena program reformasinya dianggap kredibel, meski hasil dari program reformasi itu sendiri belumlah nyata. Sebaliknya, pasar tak segan-segan menghukum negara mana saja, apabila terdapat sinyal-sinyal inkompetensi atau randomness dari pengambil kebijakan-apakah itu dari kebijakan yang diambil atau dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan.

Dikaitkan dengan itu, mengatasi inflasi, sebagai contoh, sebaiknya tidak dilakukan secara ad hoc atau malah dengan menambah panjang deretan barang dan jasa yang diatur harganya. Pengalaman pada 2010-2013, ketika pemerintah mengejar swasembada daging sapi atau menerapkan tata niaga kedelai, bisa dijadikan pelajaran. Begitu pula dengan usaha swasembada beras yang berjalan beriringan dengan impor beras pada masa Presiden Soeharto.

Mengatasi perlambatan ekonomi juga tidak bisa hanya dengan menambah anggaran tanpa adanya upaya serius untuk memberantas korupsi, mengatasi hambatan regulasi dan birokrasi, memberikan kepastian hukum, sekaligus memberikan perlindungan kepada pengambil kebijakan. Bila itu semua dilakukan, kita tidak hanya dapat mengerem hengkangnya dana-dana ke luar negeri, tapi juga bisa membangun landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang kokoh di masa depan.

Krisis di negeri ini memang masih jauh dari terjadi. Namun perlu diingat bahwa probabilitas terjadinya krisis-pasca-bonanza aliran modal-rata-rata naik hampir dua kali lipat menjadi 28 persen bila dibandingkan dengan kondisi normal (Reinhart, 2014). Dari semua uraian ini, kiranya pesannya pun jelas: panik jangan, lengah pun jangan. Berbenah.

*) Dosen Fakultas Ekonomika Dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus