Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Yang Berdakwah di Luar Layar Kaca

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN puasa belum pergi jauh. Dan kita belum lupa betapa selama Ramadan itu semua saluran televisi berlomba menyiarkan ceramah, diskusi, kajian, atau sekadar kuliah singkat agama. Jika dihitung dari banyaknya ustad dan ustadzah yang tampil, boleh dibilang dakwah Islam di negeri ini semakin semarak.

Tren ini, bagi pemeluk Islam, jelas menggembirakan. Bahkan, bagi kalangan non-Islam, ini juga kabar baik. Sebab, ajaran yang diserukan lewat layar kaca semuanya mendorong umat melakukan kebajikan, kebenaran, serta menegakkan Islam yang ramah dan damai. Boleh dibilang dai dari kelompok "garis keras" tidak mendapat tempat di stasiun-stasiun televisi itu.

Generasi dai atau mubalig yang tampil di televisi tahun ini kebanyakan wajah belia. Memang, masih ada generasi dai senior seperti Quraish Shihab, Aa Gym, dan Zainuddin Mz., tapi selebihnya adalah generasi yang berpakaian modis, berkacamata model terbaru, rupawan, dan yang terpenting: camera face. Pendeknya, merekalah generasi dai yang lebih sedap dipandang mata ketimbang didengar isi ceramahnya.

Mereka biasanya bicara tentang hal yang ringan-ringan saja. Mungkin agar kepala pemirsa tak bertambah puyeng setelah menghadapi berbagai problem kehidupan. Sering mereka menyisipkan humor yang mengundang senyum dan tawa di antara kalimat-kalimatnya. Kedalaman ilmu dan materi agama acap kali menjadi urusan nomor sekian. Yang penting gaul, renyah, dan menghibur. Bukankah menghibur juga berpahala?

Dengarlah ceramah seorang pendakwah muda yang bersemangat dan berulang kali mempromosikan jilbab bagi perempuan. Kata dia, perempuan itu seperti kue donat yang harus dibungkus plastik supaya lebih bersih. Bungkus plastik membuatnya terjaga dari tangan-tangan yang hanya iseng mencolek tapi tak mau membeli.

Perumpamaan yang aneh. Ini bukan persamaan yang simetris. Kue donat sekadar benda mati yang pasrah jika dibungkus dengan apa saja. Sedangkan perempuan adalah makhluk berakal budi yang merdeka untuk berpikir dan memilih memakai "bungkus" atau tidak. Tapi "kepeleset" sekali dua kali soal begini tidak menyurutkan pamor sang dai. Dia terus tampil di mana-mana, tetap renyah dan enteng. Dan jangan terlalu kaget juga kalau ada semacam "uang tali kasih" yang mengiringi kedatangan mereka di panggung-panggung dakwah.

Tidak perlu aneh dengan penceramah model begini. Mungkin industri media, dengan iklan sebagai darahnya, menjadi alasan utama mengapa ustad gaul lebih laku ketimbang Quraish Shihab yang membedah ayat-ayat Quran secara dalam tapi serius, dan tanpa humor.

Kita akui saja mereka semua sebagai kekayaan Islam. Di tempat lain, jauh dari sorotan kamera televisi, syukurlah, masih ada kekayaan yang lain. Banyak ulama dan kiai dengan ilmu agama mumpuni dan memilih dakwah bil hal, dakwah dengan kegiatan nyata. Mereka mungkin kurang fasih bicara, mungkin juga risi dengan keplok penonton, apalagi di depan televisi, tapi memilih terjun langsung membantu masyarakat.

Ada Gus Tanto di Semarang yang giat ber-dakwah di antara para preman. Ia membiarkan para santrinya bertato, tapi meminta mereka pergi dari dunia hitam.

Di dalam kompleks pelacuran Bangunsari, Surabaya, ada pula Khoiron Syu'aib yang tekun menyerukan ajaran agama kepada para penghuni kompleks. Ia yakin, di dalam bilik kecil hati para pelacur dan germo tetap ada niat untuk berbuat baik. Ia memahami para pelacur menjajakan diri karena terpepet kebutuhan ekonomi.

Contoh lain dakwah yang tak hanya bicara, tapi langsung bekerja, ditunjukkan Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abu Bakar. Di pesantrennya di kawasan Parung, Bogor, ia menampung ribuan anak yatim dan miskin untuk mengecap pendidikan agama serta pendidikan modern dari tingkat SMP sampai perguruan tinggi secara gratis. Masih banyak lagi kiai seperti mereka.

Tentu mereka ini membanggakan. Mereka tidak tergoda untuk terjun ke dunia politik dengan memanfaatkan sokongan umatnya. Mereka juga tidak mencoba-coba mendekati pucuk-pucuk kekuasaan seperti yang dilakukan sejumlah dai yang terkenal di panggung televisi.

Para dai yang memilih jalur dakwah bil hal barangkali tak merasa perlu tampil di layar kaca. Bukan karena penampilan mereka kurang trendi atau wajah mereka tidak camera face, melainkan mungkin mereka risi kalau dianggap cuma bisa bicara dan tidak berbuat. Dan mengerjakan sesuatu yang nyata bagi sesama, terutama pada masa ekonomi yang sulit seperti sekarang, merupakan pekerjaan mulia yang sungguh besar artinya bagi masyarakat Islam yang umumnya hidup jauh dari berkecukupan.

Untuk mengangkat derajat kehidupan umatnya, Islam perlu para dai yang bisa menghibur dan memikat umat di layar kaca. Tapi Islam lebih perlu para dai yang bekerja secara nyata, memberikan sumbangan konkret kepada masyarakatnya. Di tangan dai pekerja ini lilin-lilin dinyalakan, menerangi umat yang telah lama berada dalam gelap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus