Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddi Elison
Pengamat Sepak Bola Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya seminggu setelah Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian membentuk Satuan Tugas Anti-Mafia Bola (Satgas AMB) pada 27 Desember 2018, polisi menangkap Sekretaris Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Jawa Tengah Johar Lin Eng, yang juga anggota Exco PSSI, di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Polisi juga menangkap Priyanto, mantan anggota Komisi Wasit PSSI, di Semarang, dan wasit futsal, Anik Yuni Artika Sari, di Pati. Dua hari kemudian ditangkap pula Dwi Irianto, anggota Komisi Disiplin PSSI (nonaktif), di Yogyakarta. Mereka kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan utama penipuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Johar Lin Eng sebenarnya bukan orang baru dalam percaturan pengaturan skor (match fixing), tapi selama ini selalu tak terjangkau akibat kepengurusan PSSI lama sengaja pasif dalam penanggulangan mafia suap. Juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono, menyatakan, Johar melanggar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk masalah penipuan dan Pasal 378 menyangkut penggelapan, suap, atau pencucian uang. Sebelumnya, Johar dilaporkan oleh Manajer Klub Persibara Banjarnegara, Lasmi Indaryani, karena meminta dana untuk pertandingan U-16 putri. Hasil penyidikan polisi juga menemukan bahwa Johar ikut "bermain" dalam pengaturan skor dalam pertandingan Liga 2 dan 3 di Jawa Tengah. Ia disebut terlibat mengatur jadwal pertandingan atau menentukan klub-klub yang akan bertanding agar bisa menang.
Dengan ditahannya Johar, PSSI telah kehilangan dua anggota Exco, badan yang paling menentukan kebijakan lembaga persepakbolaan nasional itu. Sebelumnya, Komisi Disiplin PSSI telah menskor Hidayat, anggota Exco, selama tiga tahun enam bulan karena terlibat percobaan pengaturan skor Liga 2. Hidayat kemudian mundur dari Exco. Komisi juga menjatuhkan skor seumur hidup kepada Bambang Suryo terkait dengan pengaturan skor Liga 3. Bambang protes karena pada 2015 ia sudah dijatuhi hukuman yang sama.
Gebrakan Satgas AMB telah menohok PSSI karena selama ini PSSI terkesan "tidak mampu" menanggulangi mafia bola, padahal masukan dari masyarakat via media massa dan media sosial sudah banyak. Namun, PSSI rupanya masih kurang bahan dan mencoba memanggil puluhan akun media sosial tapi hanya dua yang hadir. Panggilan itu kurang direspons karena pemilik akun media sosial bukanlah anggota PSSI. Tindakan ini juga dinilai kurang tepat. Sebaiknya, jangan ganggu dulu langkah Satgas AMB membersihkan PSSI.
Masalah suap bola terjadi sejak 1952 saat pertandingan final Kompetisi Perserikatan antara Persebaya dan Persija. Yang terlibat adalah pemain Persija, dan penyuapnya menginap di hotel terdekat dengan Persija. Tak heran jika Latief Harris Tanoto (Tan Liong Houw), pemain Persija, pernah memukul penyuapnya di kamar pakaian setelah mendengar bisik-bisik sang penyuap dengan seorang pemain lain. Tanoto dijatuhi hukuman denda Rp 50 oleh pengadilan karena main hakim sendiri.
Demikian juga M. Saelan, yang kemudian menjadi Ketua Umum PSSI, pernah memborgol dua penyuap di sebuah hotel, setelah diberi tahu Tanoto, dalam pertandingan di Bandung ketika Persija menjadi peserta. Bahkan, Saelan juga yang "menangkap" beberapa pemain tim nasional Asian Games 1962 dan menahannya di rumah tahanan militer.
Ini menunjukkan bahwa pemeran utama dalam kasus suap ini diawali oleh pemain. Ini terjadi juga dalam era Galatama pada 1980-an saat beberapa pemain diadili di pengadilan. Adapun penyuap yang pernah dihukum hanya Sun Kie dari klub Caprina, selain dua orang yang "diadili" Saelan.
Pelaku berikutnya adalah kelompok wasit dan manajer tim. Di era kepemimpinan Azwar Anas, PSSI membentuk Tim Penanggulangan Masalah Perwasitan, yang diketuai Mayor Jenderal Adang Ruchiatna. Kala itu, PSSI menghukum sekitar 25 orang-yang terdiri atas wasit, pengawas pertandingan, manajer tim, dan staf PSSI-dari sekitar 150 orang yang diperiksa selama tiga bulan di tujuh kota.
Kita yakin bahwa saat ini para mafia bola belum bergeser dari pemain, wasit, pengurus klub, dan pengurus PSSI (pusat atau daerah). Jadi, Satgas AMB jangan hanya membuat terapi kejut, tapi juga mulai memanggil bekas wasit dan mantan pimpinan klub yang bermasalah serta para pembisik, seperti Bambang Suryo. Mereka diperkirakan tahu siapa "sang bos" dalam pengaturan skor ini.