Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMILIHAN kepala daerah Surabaya merupakan contoh kecil tentang kisah pembajakan demokrasi. Sedianya berlangsung 9 Desember 2015, sesuai dengan undang-undang, pilkada itu bakal tertunda hingga 2017—jika sampai Selasa pekan ini hanya diikuti satu pasang kandidat. Seandainya ini terjadi, selama dua tahun warga Surabaya akan dipimpin pelaksana tugas wali kota—pejabat sementara yang tak diizinkan mengambil keputusan strategis.
Tersebutlah inkumben tanpa lawan bernama Tri Rismaharini. Sukses memimpin Surabaya, wali kota yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu diperkirakan oleh sejumlah survei bakal menang telak. Meniti karier sebagai pegawai negeri sipil, sesungguhnya ia bukan orang partai. PDI Perjuangan bersama partai lain di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya selama ini tak bersahabat dengan Risma. Jikapun Risma disokong, itu karena partai tak punya pilihan: Risma telanjur memikat hati warga Surabaya.
Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional menyorongkan calon untuk menyaingi Risma. Petinggi Partai Amanat Nasional menegaskan bahwa keputusan memajukan kandidat bukan untuk memusuhi sang Wali Kota, melainkan menolongnya agar ia tidak berlaga sendirian. Malang tak bisa ditolak: pada detik-detik terakhir menjelang pendaftaran ditutup, kandidat wakil wali kota penantang ini, dalam pengertian sebenarnya, raib tanpa jejak.
Hilang mendadaknya sang calon memantik curiga bahwa ada "operasi gelap" untuk menggagalkan pemilihan Wali Kota Surabaya. Orang mengaitkan aksi ini dengan Gubernur sekaligus Ketua Partai Demokrat Jawa Timur, Soekarwo. Apalagi Haries Purwoko, kandidat wakil wali kota yang raib itu, dikenal dekat dengan Soekarwo. Meski didukung partai, pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko bukanlah kader partai. Muncul kecurigaan bahwa keduanya merupakan kandidat boneka yang kapan pun bisa dicopot dan dipasang oleh sang dalang.
Lakon itu berakhir dengan raibnya Haries. Risma gagal berlaga—setidaknya hingga Senin pekan lalu. Soekarwo dianggap bertanggung jawab terhadap gagalnya pencalonan Risma karena ia ingin memiliki pengaruh di Surabaya—kota yang selama ini hampir tak bisa ia "sentuh". Risma memang dikenal keras melawan pemilik modal dan para beking: ia menolak rencana pembangunan jalan tol dalam kota dan perumahan di tepi laut—sekadar menyebut contoh—karena dianggapnya tak bisa menyejahterakan rakyat kecil. Santer terdengar Risma banyak menolak proyek lain yang sudah mendapat lampu hijau dari sang Gubernur.
Langkah Soekarwo mempersulit Risma sebetulnya secara politik sah-sah saja. Sebagai ketua partai, dia berhak menyorongkan atau meminta mundur kandidat dalam pemilihan kepala daerah. Tapi menunda pilkada seraya menempatkan pelaksana tugas yang "bisa dipercaya" adalah langkah tak etis. Soekarwo bisa dengan mudah dituding menyabot demokrasi.
Apalagi pemilihan kepala daerah serentak di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota sudah ditetapkan menjadi agenda nasional. Partai politik semestinya menyiapkan kader terbaiknya untuk bertarung dalam pilkada. Menang-kalah itu soal biasa. Menggagalkan pilkada karena takut kalah merupakan pengkhianatan yang nyata kepada orang ramai.
Pemerintah tidak boleh tutup mata. Membiarkan boikot pilkada terjadi sama artinya dengan merampas hak warga mendapatkan pemimpin. Memperpanjang masa pendaftaran beberapa hari menunjukkan ketidakberanian pemerintah mengambil risiko. Solusi itu juga diragukan efektivitasnya: dengan persyaratan yang bejibun, mempersiapkan kandidat dalam hitungan hari adalah mimpi di siang bolong.
Presiden mesti menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah. Satu yang terpenting dalam perpu itu adalah diizinkannya kandidat tanpa lawan untuk berlaga seorang diri. Berkaca pada praktek pemilihan kepala desa, kandidat seperti itu biasanya diminta melawan bumbung kosong. Jika si kandidat yang menang, ia terbukti dikehendaki pemilih. Jika tidak, pemilihan harus diulang.
Terobosan hukum ini harus diambil Presiden. Ia boleh jadi akan mendapat tentangan dari legislatif, terutama mereka yang sepakat dengan rencana menjegal kandidat seperti Risma. Tapi risiko harus diambil. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya sadar bahwa betapapun legal secara politik, aksi bergajul menunda pilkada harus dihambat melalui penyempurnaan undang-undang.
Melawan bumbung kosong merupakan cara yang lebih demokratis ketimbang berlama-lama menunda pilkada. Tak ada jaminan, dalam dua tahun, kandidat baru akan muncul. Pelaksanaan pilkada serentak, atas nama demokrasi dan efisiensi anggaran Pemilu, sudah menjadi keputusan bersama. Rencana baik itu tidak boleh tersandera hanya karena kepentingan segelintir politikus partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo