Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUAT apa Pemerintah Kota Depok memberi nama programnya One Day No Rice bila bahasa Indonesia menyediakan terma yang lebih tepat dan ringkas: Sehari tanpa Nasi. Seandainya pun semua penduduk kota yang "menempel" dengan Jakarta itu berbahasa Inggris, mereka pasti memilih istilah yang lebih pas, seperti One Day without Rice atau A Day without Rice—kalau mau terdengar lebih puitis. Tapi ini bukan semata-mata soal istilah.
Program yang "digalakkan" kembali sejak tiga Selasa lalu itu terkesan sangat berbau Orba. Pemerintah Depok memberi status "imbauan" pada surat edaran tak makan nasi pada hari Selasa untuk pegawai negeri sipil itu. Tapi pelanggar surat edaran akan mendapat "pembinaan" agar mengikuti edaran itu. Ini mengingatkan orang pada gaya Orba yang mengimbau pegawai negeri mencoblos Golkar dalam pemilu, seraya mengawasi dan menjatuhkan sanksi untuk mereka yang memilih partai lain.
Program ini jelas menyabot hak individu memilih bahan pangan. Dengan pengorbanan tujuh ribu pegawai negeri se-Depok itu pun, "Sehari tanpa Nasi" jauh dari efektif untuk mencapai tujuannya, yakni mengurangi konsumsi beras. Konsumsi beras 1,8 juta warga Depok sehari mencapai 1 juta kilogram, sementara jumlah pegawai negeri itu hanya 0,3 persen jumlah penduduk. Lagi pula "imbauan" itu hanya berlaku siang hari. Pemerintah Depok pasti tak mungkin mengintip-intip menu sarapan pagi atau santap malam pegawai negerinya. Pada siang hari, para PNS itu juga masih bisa ke luar kantor untuk beranjangsana ke penjual nasi di warteg atau rumah makan Padang yang menjamur di Depok.
Kebiasaan makan nasi memang mendatangkan masalah. Tahun lalu produksi beras Indonesia sekitar 38 juta ton. Jumlah itu tak mampu menutup konsumsi beras kita, sehingga pemerintah mengeluarkan Rp 7 triliun untuk mengimpor 1,5 juta ton beras. Agar Indonesia menjadi pengekspor beras, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan punya resep yang masuk akal—walau tak mudah dijalankan, yaitu 240 juta penduduk Indonesia mengganti makan malamnya dengan singkong atau makanan nonberas yang lain.
Mungkin Wali Kota Depok Nur Mahmudi punya gagasan serupa. Tapi ia perlu kreatif mencari alternatif, bukan sekadar mencegah orang makan nasi. Ia bisa mengundang warga Depok menciptakan menu pengganti nasi, melalui lomba atau sayembara. Kalau ia berhasil, bukan hanya pegawai negeri sipil Depok yang akan bersukacita menyantap hidangan nonnasi, sebagian penduduk Depok pun akan ikut mengganti menu nasinya. Konsumsi beras kota itu niscaya akan jauh berkurang dibandingkan dengan jumlah yang bisa dihemat dari jatah makan siang pegawai negeri Depok.
Kalau Wali Kota Depok ingin membangun kota yang melayani dan menyejahterakan, ia perlu membangun komunikasi aktif dengan warga—seperti semboyan kota itu. Program "Sehari tanpa Nasi" jelas bukan contoh komunikasi yang baik dan partisipatif. Nur Mahmudi perlu belajar membangun dialog dari Wali Kota Solo Joko Widodo, yang lebih dari 50 kali menggelar pertemuan sebelum memindahkan pedagang kaki lima ke lokasi baru.
Sebelum jauh terseret dalam urusan nasi dan beras, ada baiknya Wali Kota Depok kembali kepada prioritas kerjanya. Ia perlu menata lalu lintas Depok yang semrawut, sampai-sampai mobil dinas Wali Kota tertabrak motor pada awal Februari lalu. Ia perlu memperhatikan penataan kota yang jauh dari mengesankan. Itu lebih penting ketimbang sibuk menyarankan warga makan dengan tangan kanan. Wali Kota Depok lebih baik memperhatikan tata kota, ketimbang ikut mengurus tata boga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo