Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Peduli Anak Machicha

Anak di luar nikah kini punya hak perdata. Undang-Undang Perkawinan perlu direvisi total.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan Machicha Mochtar terhadap Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan merupakan terobosan besar. Dalam amar putusan Mahkamah tentang anak di luar perkawinan yang diumumkan 17 Februari lalu itu, kini sang anak punya hubungan perdata tidak hanya dengan ayahnya, tapi juga dengan keluarga ayahnya, sepanjang bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.

Terobosan ini bisa berpengaruh positif bagi perlindungan hukum dan ekonomi terhadap anak-anak di luar pernikahan. Anak-anak yang tak bersalah itu kini punya harapan mendapatkan hak-hak perdatanya, misalnya hak waris dan hak mendapatkan akta. Selama ini, mereka tidak hanya menerima stigma "anak haram", tapi juga menghadapi kerumitan ketika hendak bersekolah ataupun bekerja. Ada prosedur yang mengharuskan mereka mengisi nama sang bapak. Untuk mengakali birokrasi ini, sering kali akta kelahiran mereka terpaksa memakai nama keluarga atau sahabat sang ibu. Machicha misalnya, atas permintaan Moerdiono, memberi nama Agus Ibrahim untuk nama ayah sang anak.

Dengan adanya revisi ini, mau tidak mau sang ayah harus menyekolahkan dan membiayai hidup sang anak. Ibunya tak lagi mati-matian sendiri bekerja. Sang anak bisa menuntut pengakuan nama, marga, dan warisan. Bila menolak, sang bapak bisa dianggap menelantarkan anak kandungnya. Keluarga besar juga mau tak mau menerima sang anak tanpa diskriminatif. Putusan yang memihak hak anak ini akhirnya juga mengatur kesetaraan hak asuh bagi ayah dan ibunya jika, misalnya, keduanya tak bisa dipersatukan dengan tali perkawinan.

Bagi penerapan hukum di negeri kita, putusan ini juga berimplikasi luas dan membuka peluang koreksi, terutama terhadap hukum perkawinan. Sesungguhnya pembentukan Undang-Undang Perkawinan bersifat politis. Pada 1974, tatkala terjadi fusi partai, Presiden Soeharto menerima usul para ulama agar ketentuan ihwal perkawinan mengakomodasi syariat Islam. Penguasa Orde Baru itu sengaja memberi "gula-gula" untuk mengambil hati umat Islam melalui peraturan ini.

Momentum ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengoreksi Undang-Undang Perkawinan, yang dikritik lebih menguntungkan laki-laki. Gampang sekali bagi lelaki jika hendak menceraikan istrinya: cukup dengan alasan pertengkaran. Dalam perspektif hak anak, tak ada klausul yang mewajibkan bapak biologis resmi bertanggung jawab secara perdata terhadap anak di luar nikah. Pasal-pasal poligami dalam ketentuan itu dianggap kemenangan bagi umat Islam dalam memperjuangkan syariat. Padahal, faktanya, banyak terjadi poligami liar yang menimbulkan kasus penelantaran istri dan anak.

Perkawinan campur juga perlu dikoreksi. Perkawinan beda agama ini sama sekali tidak diatur dalam undang-undang itu. Ada kekosongan hukum di sini, sementara masyarakat Indonesia makin plural. Perkawinan beda agama bukan sesuatu yang tabu. Mereka yang beda agama terpaksa kawin di luar negeri, seperti di Hong Kong atau Australia, agar absah. Baru kemudian mereka mendaftarkan surat bukti perkawinan ke kantor pencatatan perkawinan Indonesia. Tapi, soalnya, tidak semua pasangan mampu ke luar negeri. Undang-undang semestinya memungkinkan pernikahan yang dilakukan dua kali, menurut agama masing-masing.

Masyarakat kini membutuhkan undang-undang perkawinan yang didasari semangat kesetaraan. Kasus Machicha Mochtar adalah salah satu pucuk gunung es yang terpendam. Di desa-desa, bukan mustahil masih banyak "Machicha" lain yang lebih sengsara. Mereka merupakan korban perkawinan dini atau poligami liar yang dilegitimasi negara. Status hukum anak-anak mereka tak jelas. Amendemen peraturan ini mendesak dilakukan demi mencegah penderitaan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus