Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Godse

Agama memberi populisme bahasa, dalil, janji, dan ancaman yang konon tak akan lapuk oleh zaman. Dalam semangat populis, agama jadi unsur penting identitas. Dan ia tak mudah mati.

1 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga butir peluru pistol ditembakkan ke tubuh Gandhi yang kurus keriput, dari jarak dekat. Sang pembunuh mencoba mengubah sejarah India. Ia gagal—setidaknya saat itu. Sebab kini kita ragu, benarkah kebencian terpendam lama itu bisa berubah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gandhi wafat, menjelang pukul 6 sore, 30 Januari 1948, setelah diangkut dari anak tangga teratas halaman belakang Birla House, New Delhi, tempat ia tergeletak berlumuran darah. Sore itu sang “Mahatma”, demikian ia digelari pengikutnya, sedang hendak mengadakan upacara doa bersama dengan para penganut agama lain—sebuah isyarat perdamaian. Tapi justru karena itu Godse membunuhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramachandra Vinayak Godse tak sendirian; ia berhasil menunaikan tugasnya dengan bantuan delapan orang. Sejak 1934 ada enam kali Gandhi dicoba dilenyapkan, tapi baru hari itu berhasil.

Bagi mereka ini, perdamaian adalah sesuatu yang tak adil. Godse menganggap Gandhi terlalu berpihak pada golongan Islam, terutama ketika India dipecah dua, sebagian jadi Negara Pakistan.

Godse, yang lazim disebut Nathuram, segera diringkus di tempat kejahatan itu. Ia dan seorang temannya kemudian diadili dan dihukum gantung di penjara Ambala. Dua putra Gandhi meminta pemerintah tak melakukan itu—bagi mereka, dendam dan hukum gantung tak sesuai dengan ajaran Gandhi. Tapi Perdana Menteri Nehru menolak.

Bagi Nehru, juga bagi Gandhi, India yang merdeka harus bisa merangkum semua umat, tak mengistimewakan mayoritas yang Hindu. Bagi para pendiri India itu, begitulah seharusnya India yang damai dan adil dan tak tergoyahkan. Demokrasi yang hendak mereka bangun memberi tempat kepada siapa saja—tak peduli agamanya.

Tapi demokrasi adalah sistem yang pelik. Waktu itu India belum lagi cukup umur, dengan sejarah perbedaan dan benturan yang tajam dalam hal iman, kelas, dan kasta. Meski demikian, negeri baru itu berniat terbuka untuk siapa saja.

Juga buat orang semacam Godse dan kaumnya, yang menentang niat itu. Orang-orang ini menganggap, justru karena orang Hindu mayoritas, juga pribumi, mereka berhak memiliki supremasi dan menentukan dasar dan arah India. Mereka menampik India yang dibentuk orang seperti Gandhi dan Nehru.

“Saya menegaskan,” kata Godse dalam pengadilan, “tembakan saya terarah kepada orang yang kebijakan dan tindakannya telah merusak dan menghancurkan jutaan orang Hindu.” Ia mewakili amarah RSS, “organisasi patriot nasional”, yang berdiri sejak 1925, dua puluh tahun sebelum India merdeka dari kolonialisme Inggris.

Perasaan terpojok, dirusak, dan dihancurkan dalam sebuah demokrasi memang berlebihan bagi mereka yang secara demografis dominan. Tapi perasaan itu nyata, campuran rasa waswas, iri, dan paranoia yang menahun, yang kemudian membangkitkan gerakan yang disebut “populis” hari-hari ini—sebuah ekspresi perlawanan.

Populisme bukan ideologi semacam sosialisme. Sosialisme, khususnya yang diperkenalkan Marx, punya klaim “ilmiah”. Ketidakadilan yang ditentangnya adalah ketidakadilan yang dianalisis dengan data empiris. Tak selalu akurat, tapi selalu punya kemungkinan diverifikasi. Berbeda populisme: ia juga melawan mereka yang mapan, ia juga bersuara untuk “rakyat”; tapi dalam populisme “rakyat” tak ditentukan posisi kelas sosialnya. Mereka bukan “buruh” yang tak punya alat produksi atau “petani” dan “pemilik warung” yang alat produksinya minimal.

Rakyat, dalam populisme, adalah semacam makhluk mithologis. Ia disebut sebagai kubu yang niscaya benar. Ia seakan-akan sebuah kelompok dasar yang bersih murni dalam konflik dengan mereka “yang-bukan-kita”. Adapun “yang-bukan-kita” bisa siapa saja—yang “elite” atau yang “asing”—kategori yang dibangun dengan lambang, imaji, gerak tubuh, retorika. Politik populis seperti teater: sebuah performance.

Ketika berbaur dengan agama, populisme pun menajam. Kita, kata penggeraknya, adalah rakyat yang “sakral”, sedangkan mereka, yang bukan-kita, tidak. Batasnya mutlak. Agama memberi populisme bahasa, dalil, janji, dan ancaman yang konon tak akan lapuk oleh zaman. Dalam semangat populis, agama jadi unsur penting identitas. Dan ia tak mudah mati.

Sekian dasawarsa setelah Godse digantung, RSS tumbuh. Di tahun 2014 anggotanya sampai 6 juta orang. Di tahun 2017 Partai Hindu Mahasabha mencoba menyatakan hormat dengan menyiapkan sebuah monumen buat Godse sebagai seorang patriot. Partai Bharatiya Janata yang berkuasa, yang dipimpin Perdana Menteri Modi, ingin cari jalan tengah: meneruskan penghormatan kepada Gandhi sebagai orang yang Mahatma dan juga kepada pembunuhnya. Tak aneh: Modi, pernah jadi simpatisan RSS, dan Bharatiya Janata berdiri dengan semangat Hindutva: bagi mereka India adalah untuk umat Hindu, dan umat Islam bukan bagian yang sah dari kebangsaan.

Politik mereka adalah politik agregat. Hindu dan Islam masing-masing diperlakukan sebagai himpunan yang utuh. Identitas bagi mereka kekal. Agama mengukuhkannya—juga akhirnya mengukuhkan pembunuhan yang “bukan-kita”. Setelah Godse, kekerasan tak berhenti.

Saya tak bisa melupakan yang dikisahkan Suketu Mehta dalam Maximum City. Dalam buku jurnalistik yang memukau ini Mehta merekam percakapannya dengan orang-orang partai nasionalis Hindu, Shiv Sena, di tahun 1996. Tentang bagaimana mereka membunuh muslim, salah seorang dari mereka bercerita:

…kami berbaris ke wilayah muslim. Kami ketemu seorang paywallah di jalan besar, naik sepeda. Aku mengenalnya; aku dulu membeli roti dari dia tiap hari.... Aku bakar dia. Kami siramkan minyak tanah ke tubuhnya dan kami bakar dia. Yang aku pikirkan hanya, ini seorang muslim. Ia gemetar. Ia berteriak, “Aku punya anak, aku punya anak!” Dan aku menjawab, “Ketika kamu, orang muslim, membunuhi orang di Radhabai Chawl, kamu ingat anak kamu?” Hari itu kami tunjukkan apa arti dharma bagi orang Hindu....

Tentu saja si muslim tak tahu-menahu pembunuhan yang dilakukan muslim lain di Radhabai Chawl. Tapi politik identitas tak berurusan dengan manusia—dengan makhluk yang tak henti-hentinya berbeda, berubah, tak mudah dirumuskan. Gandhi mengenal manusia seperti itu, dan karena ia benar, ia merisaukan.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus