Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKSPOR bubur kayu oleh PT Toba Pulp Lestari selama ini amat mencurigakan. Jenis produk pulp yang dikirim ke luar negeri diduga tidak sesuai dengan yang tercantum dalam dokumen. Pemerintah perlu mengusut kemungkinan adanya kecurangan yang dilakukan perusahaan ini demi mengurangi pajak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penegakan hukum itu penting demi memberikan efek jera bagi pengusaha nakal sekaligus menggenjot penerimaan negara. Apalagi penerimaan pajak tahun lalu merupakan yang terburuk sepanjang lima tahun terakhir. Kekurangan pajak atau shortfall mencapai Rp 245,5 triliun, jauh lebih tinggi dari proyeksi pemerintah sebesar Rp 140 triliun. Sanksi yang tegas terhadap mereka yang mengakali pajak bakal mendorong perusahaan-perusahaan lain membayar pajaknya dengan benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2007-2016, PT Toba Pulp Lestari diduga mengklaim mengekspor bubur kayu jenis bleached hardwood kraft pulp (BHKP), yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kertas. Tapi pembelinya di luar negeri menyatakan bubur kayu itu berjenis dissolving wood (DW) ketika menjualnya lagi ke pasar dunia. Bubur kayu jenis ini jamak digunakan sebagai bahan baku tekstil dan harganya lebih mahal. Sebagai perbandingan, jika harga bubur kayu jenis BHKP US$ 1 per kilogram, harga bubur kayu DW mencapai US$ 1,5 per kilogram.
Dari perbedaan harga itu muncul dugaan PT Toba Pulp Lestari memanipulasi dokumen demi menurunkan nilai ekspor. Jika hal ini benar terjadi, perbuatan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Kepabeanan. Motifnya apalagi kalau bukan untuk mengurangi pajak di dalam negeri. Dugaan ini dikuatkan fakta bahwa DP Macao, pembeli produk PT Toba Pulp Lestari, yang kemudian menjualnya lagi ke pasar global, ditengarai memiliki hubungan dengan PT Toba Pulp Lestari. Kedua perusahaan itu diduga terafiliasi dengan taipan Sukanto Tanoto, yang juga pemilik Asian Agri--perusahaan yang pernah dihukum membayar denda Rp 2,5 triliun karena mengemplang pajak.
Sepintas praktik tersebut seperti transfer pricing atau pengalihan keuntungan. Perusahaan menjual produknya dengan harga rendah ke perusahaan lain yang terafiliasi di luar negeri untuk menghindari pembayaran pajak di dalam negeri. Tapi dalam transfer pricing yang ditransaksikan adalah produk yang sama. Dalam kasus PT Toba Pulp Lestari, produknya jelas berbeda. Perusahaan diduga sengaja menulis kode HS--standar internasional untuk mengklasifikasi produk perdagangan--BHKP untuk produk DW. Dengan kata lain, PT Toba Pulp mencantumkan produk yang keliru.
Pemerintah mesti membuka kembali data pengampunan pajak untuk memeriksa apakah PT Toba Pulp Lestari pernah mendeklarasikan adanya praktik tersebut. Undang-Undang Pengampunan Pajak memang mengampuni perbuatan pidana yang terjadi sebelum 2016 asalkan orang atau perusahaan mengakui perbuatannya dan membayar uang tebusan. Bila ternyata tak pernah menyampaikannya, PT Toba Pulp bisa dikenai sanksi membayar kekurangan pajak plus sanksi administrasi sebesar 200 persen dari pajak yang tidak dibayarkan karena menyampaikan informasi yang sesat.
Kementerian Keuangan harus berani membongkar dugaan pelanggaran tersebut. Sikap tegas terhadap pengusaha yang mencoba menghindari pajak diperlukan demi menyelamatkan penerimaan negara. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan terhadap semua jenis barang ekspor. Bukan tak mungkin praktik serupa terjadi di perusahaan berbeda di sektor lain yang menjual produknya ke luar negeri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo