Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Beking di Balik Polisi Tembak Polisi

Polisi tembak polisi di Solok Selatan diduga dilatari praktik beking tambang ilegal. Ada persoalan mendasar di tubuh kepolisian.

25 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dadang Iskandaryang menembak Ryanto yang sedang mengusut tambang galian C ilegal.

  • Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah polisi menjadi beking tambang ilegal dan tindak kejahatan lain.

  • Selain mental memegang senjata yang tak siap, izin penggunaan senjata para polisi tersebut bermasalah.

SELAIN memprihatinkan, kejadian “polisi tembak polisi” di Solok Selatan, Sumatera Barat, membuka dugaan praktik beking oleh polisi. Tidak hanya mengevaluasi kepemilikan senjata oleh anak buahnya, Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga harus memberantas praktik beking hingga ke akar masalahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penembakan terjadi setelah Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Solok Selatan Ajun Komisaris Dadang Iskandar, 57 tahun, beradu mulut dengan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Ryanto Ulil Anshar, 34 tahun. Dadang, yang diduga membekingi tambang ilegal, menembak Ryanto yang sedang mengusut tambang galian C ilegal. Dia kesal karena salah satu penambang ditangkap oleh Ryanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah polisi menjadi beking tambang ilegal dan tindak kejahatan lain. Di Sumatera Barat, bukan hanya tambang galian C liar yang jadi obyek “perlindungan” polisi, melainkan juga pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang marak. Menurut data Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, per Desember 2019, PETI tersebar sporadis di empat kabupaten, yakni Sijunjung, Dharmasraya, Solok, dan Solok Selatan, dengan total luas 4.169 hektare.

Berdasarkan penelitian Universitas Andalas, Padang, pada tahun lalu ditemukan praktik perburuan rente di Kabupaten Sijunjung dan Solok Selatan yang melibatkan pejabat daerah, bohir tambang ilegal, serta anggota kepolisian. Modusnya, polisi yang menjadi beking menerima setoran dari penambang liar untuk mengamankan keluar-masuknya peralatan tambang. Bahkan ada aparat yang menyewakan alat berat untuk penambangan ilegal tersebut.

Perilaku lancung ini harus diberantas. Kepala Polri tak cukup hanya memberikan imbauan ataupun menggaungkan ancaman. Selain memberikan teladan, pimpinan Polri harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu secara konsisten. Terkadang, jikapun ada, penegakan hukum tersebut hangat-hangat tahi ayam untuk meredakan sorotan masyarakat.

Polri kehilangan momentum untuk memberantas praktik beking tambang liar ketika Ismail Bolong “bernyanyi” tahun lalu. Sebelum menarik pernyataannya, bekas polisi yang juga penambang batu bara ilegal itu mengaku telah menyetorkan dana miliaran rupiah kepada petinggi Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dan Badan Reserse Kriminal Polri. Sampai sekarang pengakuan Ismail itu tak pernah diusut polisi.

Pekerjaan rumah lain pimpinan Polri adalah meniadakan budaya setoran bawahan kepada atasan. Kebutuhan atas materi ini kerap ditutup dari praktik beking atau kejahatan lain. Budaya setoran kepada atasan tak hanya menyebabkan polisi menjadi materialistis, tapi juga menimbulkan kejahatan ganda. Bawahan mencari uang dari sumber yang tak halal, lalu menyetorkannya kepada atasan sebagai pelicin agar posisinya aman.

Dalam kasus Dadang Iskandar, sejauh ini praktik beking tersebut untuk keuntungan pribadi. Walau begitu, hal ini tak kalah mencemaskan. Aparat yang memegang senjata malah menjadi pelindung orang yang melakukan kejahatan. Jika dia tega menembak Ryanto yang sesama polisi, apalagi terhadap warga sipil yang tak punya senjata.

Karena itu, pimpinan Polri juga perlu mengevaluasi kepemilikan senjata oleh bawahannya. Dalam kasus Dadang, disinyalir ada kesalahan fatal. Polisi yang bertugas sebagai staf seperti Dadang tak membutuhkan senjata api dalam bertugas. Kemudian, menurut Pasal 8 huruf j Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 tentang Perizinan, Pengawasan, dan Pengendalian Senjata Api Nonorganik Polri/TNI untuk Kepentingan Bela Diri, anggota Polri yang bisa mengajukan permohonan kepemilikan senjata api peluru tajam serendah-rendahnya berpangkat komisaris—Dadang seorang ajun komisaris. Singkatnya, selain mental si pemegang senjata, izin penggunaan senjata tersebut bermasalah.

Di sinilah terlihat penembakan di Solok Selatan bukan semata-mata kasus “polisi tembak polisi”, melainkan buah dari berbagai persoalan yang mengakar dan tak pernah dituntaskan oleh kepolisian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus