Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngurah Agung
Disaster Risk Reduction Specialist Wahana Visi Indonesia (WVI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak termasuk kelompok yang rentan dalam dinamika alam, sosial, dan ekonomi. Sebab, mereka masih sangat membutuhkan orang dewasa lainnya, seperti orang tua atau pengasuh, dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Bahkan kejadian yang bagi orang dewasa relatif kecil pun dapat berdampak besar bagi anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini orang-orang mulai menilai bahwa bencana alam merupakan perpaduan antara fenomena alam dan perilaku manusia, yang dalam konteks ini adalah keputusan manusia untuk menempati wilayah berisiko bencana atas dasar pertimbangan satu dan lain hal. Hal tersebut menyebabkan posisi anak-anak menjadi semakin rentan.
Bencana gempa bumi di Cianjur baru-baru ini merupakan salah satu insiden yang dampaknya signifikan terhadap anak. Mereka tidak hanya kehilangan hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, tapi juga terenggut kehidupannya. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 25 November lalu, 37 persen korban meninggal dalam gempa Cianjur adalah anak-anak dan diperkirakan kegagalan infrastruktur menjadi faktor utama yang menyebabkan besarnya angka tersebut.
Sangat disayangkan bahwa banyak korban anak-anak, baik yang meninggal maupun yang terluka, di lingkungan sekolah. Berdasarkan data Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) pada 24 November lalu, sebanyak 398 siswa terkena dampak langsung gempa tersebut. Menurut data BPNB per 1 Desember 2022, sebanyak 112.823 korban kini tinggal di pengungsian dengan 37.942 di antaranya anak-anak dan 143 dari mereka terpisah dari orang tuanya.
Bencana menimbulkan stres bagi anak yang dapat berlangsung dalam jangka panjang. Setelah bencana, mereka dapat mengalami gejala kecemasan, depresi, dan trauma. Kesehatan mental anak menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari mereka agar segera pulih.
Dampak psikologis pada anak adalah salah satu isu penting yang harus ditanggulangi. Umumnya anak mengalami stres karena ketidakpahaman mereka akan kondisi sekitar, ketidakmampuan mengontrol apa yang terjadi, kurangnya pengalaman dalam menghadapi situasi darurat, serta ketidakmampuan mengutarakan perasaan akibat rasa takut atau trauma.
Upaya-upaya yang dilakukan organisasi kemanusiaan, pemerintah, ataupun kelompok lainnya yang datang ke sebuah lokasi bencana idealnya tetap harus dilanjutkan oleh otoritas dan orang dewasa yang terkena dampak bencana. Para pemangku kepentingan dan pemerintah di setiap daerah harus merespons dengan pendekatan perlindungan anak dalam aksi kemanusiaan. Sangat mungkin anak korban bencana kehilangan orang tua atau pengasuh sehingga peran-peran tersebut harus dimainkan oleh anggota keluarga lainnya, guru, tokoh masyarakat, pemerintah, ataupun orang dewasa lain di sekitar anak. Jangan sampai anak mengalami bencana tambahan karena ketiadaan orang tua mereka.
Build back better merupakan upaya ideal dalam perencanaan pemulihan pascabencana. Pelajaran dari kesalahan yang menyebabkan anak-anak terpapar dampak bencana harus menjadi dasar dari upaya pemulihan. Kami menilai bahwa banyak faktor berperan dalam hal tersebut, tapi tidak semuanya bisa dilakukan hanya oleh satu organisasi atau dalam jangka waktu yang singkat.
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk membangun dasar tersebut adalah membuat sekolah memiliki mekanisme kedaruratan yang memastikan kerugian/korban jiwa dapat dihindari semaksimal mungkin. Mekanisme kedaruratan tersebut disusun menjadi prosedur operasi standar (SOP), yang di dalamnya termasuk memastikan pendidikan anak dapat berlangsung di masa kedaruratan (education in emergency).
Anak sangat rentan menjadi korban bencana sehingga mereka seharusnya juga dilibatkan dalam upaya mengurangi potensi risiko. Pemerintah dan lembaga kemanusiaan lainnya perlu melibatkan anak dalam program-program penanggulangan bencana di mana pun mereka berada. Upaya pencegahan korban jiwa anak sangat bergantung pada keterpaparan mereka dalam setiap perencanaan dan implementasi aksi kesiapsiagaan serta pengurangan risiko bencana.
Suara anak perlu didengar dan dipertimbangkan sejak penyusunan kebijakan. Anak juga harus memperoleh pemahaman bagaimana dan apa aksi sederhana yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri pada saat kondisi darurat.
Sebagai orang dewasa, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta sesuai dengan usianya melalui program pendidikan, kesiapsiagaan, dan ketangguhan yang dapat dipahami dan cukup sederhana untuk mereka terapkan. Dalam jangka panjang, untuk memastikan upaya build back better dapat dilakukan, kita harus berinvestasi dalam peningkatan kapasitas anak-anak serta orang dewasa di sekitarnya untuk lebih berfokus pada upaya mitigasi dan kesiapsiagaan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo