Tujuan Undang-Undang Desentralisasi Hindia Belanda Tahun 1903 (UUDHB) adalah mengikutsertakan penduduk setempat dalam usaha pemerintahan. Dalam teori desentralisasi kolonial Belanda, tidak ada maksud pelimpahan kewenangan memerintah dari pusat ke daerah. Kata Menteri De Graaff: "Tujuan utamanya adalah memberi suatu derajat partisipasi yang luas kepada penduduk wilayah-wilayah dan kelompok masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pemerintahan; suatu derajat otonomi dan sertatantra dalam penyelenggaraan pemerintahan, sama seperti yang diberikan kepada rakyat Negeri Belanda dalam UUD 1848."
Begitu pula kata Mr. J. J. Schrieke: "?Yang ingin dicapai? adalah penyerahan bertahap segala urusan? kepentingan lokal kepada pemerintah setempat dengan bekerja sama dengan penduduk...." Semua itu dilakukan karena pandangan bahwa penduduk setempatlah yang benar-benar tahu apa yang mereka butuhkan.
Dalam memori penjelasan UUDHB 1903, tercantum alasan lain mengapa penduduk setempat diberi kesempatan berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan: pemerintah tidak siap melayani tuntutan kepentingan antardaerah yang begitu beragam. Bahkan dalam satu daerah pun banyak sekali ungkapan kebutuhan yang saling berbeda. Masyarakat Hindia Belanda sudah lebih kompleks dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Corak dan struktur pemerintahan yang dibuat di masa lalu tak mampu mengikuti perkembangan tersebut.
Yang dianggap urusan lokal murni adalah, misalnya, pembangunan jaringan jalan dan pengurusan penerangan jalan, penanganan sampah, penyediaan air minum, pelayanan pasar yang higienis. Juga tempat-tempat penjualan daging, ikan, sayuran, buah-buahan, susu, atau pengawasan atas minuman-minuman lain yang cepat rusak di iklim tropis.
Selain itu, yang termasuk kategori porsi lokal adalah urusan air limbah yang dialirkan ke got dan roil, pembangunan perumahan, pengawasan agar harga tanah untuk perumahan tidak menjadi obyek spekulasi, penetapan garis sempadan jalan, perbaikan kampung, dan pemadaman kebakaran. Akhirnya, pemerintah setempat diharapkan melibatkan diri dalam hal-ihwal pendidikan.
Adanya DPRD yang bertingkat-tingkat memang baik. Tapi yang melayani masyarakat bukan DPRD, melainkan para pejabat birokrasi. Kesinambungan pelayanan publik ini tidak bisa terjamin jika terus-menerus terjadi penggantian pejabat. Dalam suatu sistem pemerintahan yang sentralistis, seorang pejabat bisa ditempatkan dan dipindahkan ke mana saja.
Suatu kebiasaan buruk dalam sistem semacam ini adalah pejabat baru tak suka men-jalankan kebijakan pejabat lama. Lalu, terjadilah ubah-mengubah kebijakan, selain gonta-ganti pejabat. Semua ini menimbulkan ketidakpastian di mata masyarakat setempat. Tidak demikian halnya dengan pejabat yang berkarir di satu tempat. Mereka sangat mengenal keadaan dan kebutuhan setempat, dan peduli akan "daerahnya". Mereka lebih cenderung mengabdi agar daerahnya maju dan berkembang, dan terus diperbaiki serta dipercantik.
Desentralisasi itu Transparan
Dalam konsep desentralisasi Belanda, media komunikasi diberi peran besar. Ada suatu "keterbukaan lokal" bila kebijakan-kebijakan setempat, berikut alasan dan problematiknya, diuraikan di media setempat. Dengan demikian, penyimpangan tingkah laku dapat cepat tampak, terungkap, dan lebih mudah dicegah. Pada pengelolaan terpusat, semuanya terjadi dalam ruang tertutup. Kritik dari luar sangat terbatas.
Sidang-sidang DPRD terbuka bagi orang yang berminat dan para pemantau. Di situ dapat dinilai kekurangan dan kebutuhan setempat, serta apakah keinginan yang hidup di masyarakat tecermin dalam perbincangan di sidang-sidang tersebut. Memang benar, desentralisasi tidak menutup peluang munculnya perbedaan pendapat. Tapi setidaknya suara rakyat bisa didengar dan pengaruh mereka dapat terasa, setidaknya dalam pemilihan setempat. Ini tidak mungkin terjadi dalam sistem pemerintahan terpusat. Pada pengambilan keputusan terpusat, data dan advis selalu bersifat relatif. Kata akhir selalu berada pada pejabat pusat.
Dengan transparansi, masyarakat dapat menyaksikan pembelanjaan uang yang diperoleh dari mereka. Kalau masyarakat lokal tahu dan melihat serta mengerti manfaat bagi mereka, mereka pasti akan bersedia memberi kontribusi keuangan. Dengan demikian, beban anggaran belanja pemerintah pusat jadi lebih ringan.
Kesalahan akan tetap terjadi, baik dalam sistem sentralistis maupun sistem yang sudah didesentralisasi. Bahkan akan terlihat seolah dalam desentralisasi terjadi lebih banyak kesalahan. Namun hal itu terutama karena di masa lalu yang tertutup, kesalahan ditutupi pula. Dengan keterbukaan, ciri yang harus dimiliki desentralisasi, kesalahan justru terbuka dan akan disorot oleh media lokal dan DPRD. Dengan demikian keterbukaan berfungsi sebagai pencegah atau pengurang kesalahan pelayanan publik di daerah.
Pendidikan Politik
DPRD di daerah-daerah otonom memberi kesempatan luas kepada seluruh golongan dan lapisan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan kesulitan mereka. Dalam proses penyampaian itu mereka juga ikut mempengaruhi bagaimana cara menghadapi setiap masalah di daerahnya. Keuntungannya dari segi ketatanegaraan adalah pemerintah dapat mengamati apa yang hidup di masyarakat. Desentralisasi juga merupakan penangkal terbaik bagi elemen-elemen destruktif seperti huru-hara pada 1926-1927.
Bagi para anggota dewan, keanggotaan itu merupakan pendidikan politik. Mereka mengembangkan bakat dirinya untuk berswakarya, dan kelak untuk zelfbestuur alias self-government atau swatantra. Ini merupakan proses pendidikan yang amat penting bagi wakil-wakil rakyat pribumi. Memang, akibat langsungnya adalah bahwa dewan "terlalu banyak bicara". Ini tidak merugikan, tapi sebaliknya berfungsi sebagai "katup pengaman". Lebih baik banyak bicara tapi legal daripada membisu kemudian memberontak.
Tuntutan dan keinginan "ikut bicara, ikut berbuat" adalah konsekuensi logis dan tak terhindarkan dari politik pendidikan pemerintah untuk memperluas khazanah politik masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi menawarkan peluang alamiah agar perkembangan masyarakat diarahkan ke jalan yang praktis dan demi kebaikan dan kesejahteraan umum. Sebaliknya, pendidikan menghasilkan wakil rakyat yang berpengetahuan cukup untuk menyampaikan kepentingan masyarakat.
Ruckert sangat mementingkan makna desentralisasi bagi Regentschapsraad (DPRD, Regentschap, sering diterjemahkan sebagai "kabupaten") yang mempunyai "karakter pribumi" yang amat kental. Dia menganggapnya amat menentukan sebagai perkembangan menuju kemerdekaan, dan daya mengatur diri masyarakat pribumi.
Menurut Ruckert, Undang-Undang Reformasi Pemerintahan 1922 juga menganut jalan pikiran desentralisasi. Dalam hal ini amat menarik apa yang dikatakan Menteri De Graaff tentang tujuan reformasi. Menurut De Graaff, masyarakat pribumi di seluruh Hindia Belanda mendesak agar dapat turut bicara dalam masalah publik.
Kini terserah pada penguasa Belanda untuk memberi arah yang sehat kepada daya masyarakat tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga agar penduduk dapat memperoleh pendidikan politik. Semua itu mengarah pada kemampuan pemerintah sendiri, tapi tetap dalam satu wadah kenegaraan dengan Belanda. Pembentukan serangkaian DPRD ketika itu, menurut De Graaff, merupakan kecenderungan yang menggembirakan dan landasan yang kuat bagi terlaksananya harapan tersebut.
Menurut Ruckert, perluasan kesempatan pendidikan yang diikuti oleh kemajuan pesat dari perkembangan masyarakat niscaya akan memustahilkan pengelolaan pemerintahan secara otoriter. Ditambah dengan badan-badan perwakilan rakyat yang bekerja secara terbuka, hal ini akan menjamin tak terulangnya keadaan-keadaan yang salah, yang dulu sering terjadi antara pemerintah pribumi dengan rakyatnya, ataupun karena perluasan pamong praja Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda menganut dua jenis desentralisasi. Pertama, menyangkut desentralisasi penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan secara bertahap dari "urusan-urusan yang murni lokal". Desentralisasi ini berdampak pada aspek ketatanegaraan. Argumen utama desentralisasi adalah heterogenitas wilayah-wilayah serta ketidakmampuan penetrasi dan distribusi pelayanan yang ada. Provinsi pada awalnya bersifat administratif. Kemudian berkembang menjadi otonom, sesuai dengan perkembangan situasi baik dari bawah maupun atas. Dalam desentralisasi, jalur yang dijadikan pedoman adalah asas efektivitas.
Desentralisasi yang kedua berkaitan dengan pemerintahan swapraja dan volksgemeenschappen. Pandangan ini bermuara dalam bentuk pemerintahan yang dualistis, yaitu jalur pemerintahan Barat dan jalur pemerintahan pribumi. Dalam dua pandangan itu, satu persamaan yang dapat ditarik: pelaksanaan desentralisasi berlangsung secara bertahap, sesuai dengan tingkat pendidikan masyarakat lokal.
Teori desentralisasi Indonesia mulai menyimpang dari teori desentralisasi Hindia Belanda dengan Penpres No. 6/1959. Sejak itu kesatuan-kesatuan teritorial seperti keresidenan dan kewedanaan dihapus. Kemudian menyusul penghapusan swapraja dan inlandsche volksgemeenschappen (masyarakat "adat").
Institusi ketatanegaraan terkemuka di bawah kecamatan adalah desa, yang disamakan secara pukul-rata untuk seluruh Indonesia seperti desa di Jawa. Patokan utamanya adalah syarat demografis atau kependudukan. Teori desentralisasi Indonesia itu bermuara pada Undang-Undang No.18/1965 diubah dengan Undang-Undang No.5/1974 tentang Pemerintahan di Daerah, serta Undang-Undang No.19/1965 diubah dengan Undang-Undang No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Tampaknya Undang-Undang No.22/1999 ingin mengubah paradigma Undang-Undang No.5/1974 dan Undang-Undang No.5/1979, sekaligus menghidupkan kembali masyarakat hukum adat lokal. Tapi, agaknya pengakuan kembali masyarakat hukum menimbulkan dampak yang cukup serius. Masyarakat menemukan kembali jatidirinya yang mereka anggap hilang selama ini, entah karena agama, peleburan etnis, kultur, atau bahasa. Penemuan kembali jatidiri inilah yang tampak cenderung kebablasan.
Sekarang ini yang dibutuhkan adalah redefinisi teori desentralisasi Indonesia abad ke-21 agar mampu menjawab tantangan zaman demi kebaikan negara di satu pihak dan masyarakat lokal di lain pihak. Teori desentralisasi itu harus bertumpu pada dua pilar: heterogenitas wilayah-wilayah di satu sisi dan saling ketergantungan antara wilayah-wilayah tersebut di sisi lain. Sebagai konsekuensi kedua pilar tersebut, kita perlu mencari format-format (reformasi) hubungan politik, administratif, dan ekonomi/keuangan pusat dan daerah. (Disadur dari J.J.G.E. Ruckert, De beteekenis der Decentralisatie voor Nederlandsch-Indie, dalam Koloniale Studien no.2, tahun ke-13, April 1929; Dokter Ben Mboi adalah mantan Gubernur/KDH Nusatenggara Timur 1978-1988, dosen teori pemerintahaan IIP 1995-2000). n
Ben Mboi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini