Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Otonomi Tak Sekali Jadi

Desentralisasi tetap bukan obat. Ringkasan diskusi ke-22 Aksara dengan Prof. Dr. Bhenyamin Hossein.

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apa yang salah dari pelaksanaan otonomi daerah? Salah undang-undang atau salah pikir? Dari beberapa daerah, satu per satu masalah mencuat. Sumber air yang dulu dinikmati bersama beberapa daerah kini dipersoalkan. Laut yang dulu sumber nafkah bersama nelayan dari berbagai daerah kini dipertengkarkan. Tiba-tiba identitas kedaerahan menjadi begitu penting dan jadi alasan untuk bertikai. Agenda pembicaraan otonomi daerah didominasi soal pembagian keuangan pusat-daerah, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan pembagian dana alokasi umum (DAU). Semua paham, tak ada pembangunan bisa jalan tanpa anggaran. Tapi benarkah uang adalah urusan terpenting dalam pelaksanaan otonomi? Otonomi daerah tidak berhenti pada pelimpahan kekuasaan dan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi adalah kendaraan bagi pemerintah?daerah dan pusat?untuk lebih dekat dengan rakyat guna memecahkan masalah di tingkat paling bawah. Dulu setiap masalah diputuskan di pusat, kini daerah dapat giliran pertama menyelesaikannya. Ketika otonomi daerah dipahami sebagai perpindahan kewenangan dari "elite" pusat ke "elite" daerah, muncul raja-raja kecil. Kesalahpahaman ini merupakan kekeliruan pertama dan mendasar. Tak mengherankan kalau kemudian muncul pernyataan-pernyataan yang mengklaim bahwa hutan, gunung, laut, sumber air, tambang, dan kekayaan alam lain adalah milik mutlak daerah tertentu. Tidak bisa dimungkiri sakit dan kecewanya daerah atas ketidakadilan dan pengabaian hak selama berpuluh tahun. Namun, harus diingat bahwa kekayaan alam negeri ini adalah anugerah bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah jajak pendapat mengungkapkan, hanya sebagian masyarakat yang yakin otonomi daerah akan meningkatkan kesejahteraan. Jumlah ini berselisih tipis dengan yang sangsi. Bahkan dua per tiga bagian masyarakat menyatakan khawatir otonomi akan menjadi ajang KKN oknum pemda berikut kroninya. Ini menandakan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas aparatur pemerintah daerah sangat tipis. Pasal-pasal Undang-Undang Otonomi memang tidak tegas menyatakaan visi peningkatan kesejahteraan rakyat. Perhatian pusat, juga daerah, tersita pada hitung-hitungan pembagian kewenangan dan hasil sumber daya alam. Bertengkar tentang DAU dan PAD lebih penting daripada memikirkan pendidikan, perekonomian, kesehatan, infrastruktur, air, dan hal-hal lain. Apa yang salah dari satu daerah yang "kebetulan" miskin sumber daya alam? Benarkah PAD yang tinggi adalah urusan terpenting sehingga beberapa kabupaten memburu pemasukan dengan segala cara, bahkan sampai bertentangan dengan kepetingan umum? Alih-alih memikirkan pelayanan yang baik kepada masyarakat, pemda sibuk mengeluarkan peraturan tentang aneka pungutan. Tukang sayur, buruh, petani, pedagang, pengusaha kecil-menengah, bahkan tukang becak yang parkir, harus bayar retribusi. Barisan pegawai kecamatan dan kabupaten dikerahkan siang-malam mengejar target perolehan retribusi. Sejumlah kabupaten mengeluhkan jumlah dana alokasi umum yang jauh dari kebutuhan. Pertanyaannya: seberapa besar sebenarnya kemampuan pemda mencerna dana tersebut untuk disalurkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat? Tanpa mekanisme akuntabilitas publik, dana-dana akan menjelma sebagai kenduri besar belaka. Baru delapan bulan otonomi daerah dilaksanakan, sudah ditemukan proyek-proyek pembangunan yang kualitasnya tak sesuai dengan besarnya anggaran. Nilai proyek digelembungkan. Pegawai pemda bekerja rangkap sebagai calo proyek. Anggaran dipotong di sana, digunting di sini. Maka, berapa pun besarnya DAU, berapa pun besarnya retribusi yang harus dipikul rakyat, anggaran tak akan pernah cukup untuk membiayai pembangunan. Celakanya, otonomi dimaknai pula sebagai kedaulatan. Hapusnya hierarki antara provinsi dan kabupaten/kota memunculkan gejala keengganan kepala daerah tingkat II berkoordinasi dengan tingkat I. Timbul pula kecenderungan untuk menolak pengawasan. Desentralisasi dan sentralisasi bukan asas yang dikotomis. Pasal 7 Undang-Undang No. 22 menyebut beberapa bidang yang menjadi kewenangan pusat?politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta bidang lain. Ini bukan berarti urusan di luar itu menjadi 100 persen wewenang daerah. Demikian pula, tidak ada satu pun urusan yang murni wewenang pusat semata. Yang harus dibikin jelas adalah pembagian ke-wenangan dan fungsi antara pusat dan daerah sehingga tidak muncul banyak interpretasi yang memicu perselisihan. Bila peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi tujuan diberikannya otonomi, visi ini harus tegas disampaikan bahwa penyerahan fungsi-fungsi yang selama ini dipegang oleh pusat menjadi tanggung jawab daerah. Harus pula dijelaskan terinci standar pelayanan minimum yang mesti diselenggarakan oleh pemda. Tugas ini tentu sangat berat bagi pemda, terutama mengingat kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki. Karena itu, pemda harus membuka pintu bagi peran swasta sehingga pemda tak perlu memaksakan diri menyelenggarakan beberapa pelayanan publik di luar kemampuannya, yang hanya akan berujung pada buruknya kualitas layanan, selain boros. Daerah berkembang dengan kekhasan masing-masing. Menggeneralisasi masalah bisa menyesatkan. Suatu mekanisme resolusi konflik harus diciptakan untuk mengatasi perselisihan di daerah. Pasal-pasal yang ada kurang mengantisipasi potensi konflik-konflik yang bermunculan begitu otonomi daerah dilaksanakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus