Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizal Mallarangeng
Pengajar di Jurusan Ilmu Politik The Ohio State University
DI pundak Abraham Lincoln terletak nasib Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19. Saat ia dilantik menjadi presiden pada Maret 1861, sebelas negara bagian republik modern pertama itu memisahkan diri dan memproklamasikan kemerdekaan mereka dengan membentuk negara konfederasi. Kaum separatis di negara-negara bagian di selatan ingin berdaulat penuh. Mereka menganggap perbudakan adalah bagian dari sistem sosial mereka. Dengan naiknya Lincoln, mereka curiga bahwa negeri-negeri bagian di utara akan memaksakan kehendak dan menghapuskan sistem sosial yang sudah berakar itu.
Gerakan separatisme itu didukung luas oleh masyarakat di selatan, kecuali oleh para budak tentunya, dan ditopang oleh kekuatan militer dan pasukan-pasukan milisi yang sangat tangguh. Mereka juga punya banyak ahli perang yang piawai, seperti Jenderal Robert E. Lee dan Jenderal Thomas "Stonewall" Jackson. Singkatnya, Amerika Serikat pada 1861 berada pada titik tergenting dalam perjalanan sejarahnya. Dan Lincolnlah, seorang anak petani dari Springfield, Illinois, yang kemudian menjadi pengacara sukses, yang harus memimpin negerinya mengatasi gelombang separatisme itu. Sejarah tidak memberinya pilihan: ia harus mengambil langkah-langkah besar atau negerinya akan terdampar ke tepian sejarah. Buat Lincoln, negara bentukan Revolusi 1776 itu sudah final dan tidak dapat dipecah-pecah. "It will become one thing, or all the other", tidak ada jalan tengah. Amerika Serikat harus utuh, kalau tidak ia akan terpecah ke dalam serpihan-serpihan yang berbeda dan bermusuhan. Pada awalnya, Lincoln memberi jalan kompromi yang cukup luas kepada kaum separatis. Ia menawarkan pembatasan, bukan pelenyapan perbudakan, sejauh kaum separatis mau bergabung lagi ke dalam negara perserikatan. Dalam pidato pelantikannya, ia mengingatkan bahwa masyarakat di selatan dan utara ditakdirkan sebagai satu bangsa dengan satu tanah air. Ia berharap kaum separatis tidak bertindak didorong oleh gelora perasaan semata, tetapi juga oleh kesadaran nurani yang mendalam, "the better angels of our nature". Tapi tawaran kompromi Lincoln ditolak. Semangat separatisme di selatan sudah terlalu bergemuruh. Mereka sudah membentuk pemerintahan sendiri. Mereka sudah mengangkat senjata dan bertekad mempertahankan "kemerdekaan" itu untuk seterusnya. Dengan sikap kaum separatis seperti itu, Lincoln tidak melihat kemungkinan lain kecuali menggunakan kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik, yaitu keutuhan negara. Pada Desember 1861, perang saudara pun meledak. Selama dua tahun pertama, kaum utara mengalami berbagai kekalahan dalam banyak pertempuran. Akibatnya, semakin banyak kalangan di utara yang mendukung seruan "perdamaian dengan segala konsekuensinya". Sebagian lagi mendesak Lincoln agar mengambil langkah yang lebih radikal dalam memerangi kaum selatan. Dalam teater militer, kaum utara terdesak. Dalam panggung politik, dukungan bagi Lincoln semakin sempit dan terpecah. Dalam situasi kritis itulah kepemimpinan Lincoln diuji. Kadang ia menyikut, tetapi lebih sering dengan kemampuan persuasinya yang memukau, ia melakukan berbagai hal untuk menyabarkan kaum radikal dan menyuntikkan tekad serta meniupkan harapan pada kaum pesimis yang semakin antiperang. Ia merangkul para pengritiknya, tanpa harus sepenuhnya menjadi boneka di tangan mereka. Dalam melakukan semua itu, Lincoln bertindak sebagai seorang pragmatis yang diilhami oleh sebuah visi besar, yaitu keutuhan Amerika Serikat. Tetapi sesungguhnya yang membuat dia menjadi pemimpin terbesar sepanjang masa di negerinya, dan di negeri lain yang mencintai kebebasan, adalah kemampuan dia untuk berubah dan mengembangkan visinya, sambil tetap memperluas dukungan politik yang dibutuhkannya. Visi awalnya, perang untuk negara, pada akhir tahun kedua pemerintahannya dia kembangkan menjadi perang untuk pembebasan. Yang terakhir ini dia wujudkan dengan merancang Deklarasi Emansipasi, yang kemudian menjadi dokumen historis bagi penghancuran sistem perbudakan. Dengan visi baru ini, perang sipil yang dipimpinnya menjadi bermakna lebih mendalam sekaligus berdampak lebih luas. Perang itu menjadi sesuatu yang lebih mulia, karena ia bukan lagi sekadar aksi bersenjata untuk mempertahankan keutuhan negara. Kaum patriot di utara kemudian berubah menjadi pejuang pembebasan. Visi itu, ternyata, bergema jauh ke dalam sukma masyarakat di utara. Ia kemudian menjadi pengikat yang baru dan sumber motivasi yang menggelorakan, yang membantu mereka untuk bertahan, dan kemudian menghancurkan kekuatan kaum separatis pada 1864 dan 1865. Pertikaian utara-selatan itu, dengan korban 630 ribu jiwa, tercatat sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah manusia, hingga kini. Tapi sejarah juga mencatat bahwa ia mengubah Negeri Paman Sam itu secara fundamental. Sejak saat itulah prinsip yang mereka junjung tinggi, yaitu bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama, betul-betul ditanamkan dalam kesadaran nasional mereka. Enam bulan setelah kemenangan kaum utara, Lincoln ditembak mati oleh seorang pendukung fanatik sistem perbudakan. Jasadnya memang berkalang tanah, tapi sesungguhnya ia terus hidup sepanjang masa. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |