Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
Mahasiswa S-3 ilmu politik, Ohio-State University, AS
ERA transisi dan keterbukaan politik saat ini merupakan kesempatan politik bagi kelompok-kelompok masyarakat untuk tampil menyatakan identitas, aspirasi, dan kepentingan mereka. Dalam masa transisi seperti ini, aspirasi masyarakat yang begitu beragam biasanya tidak bisa ditampung oleh lembaga-lembaga perwakilan kepentingan resmi seperti partai politik, tapi juga dalam bentuk gerakan sosial: kumpulan orang yang bergerak tanpa organisasi resmi untuk melawan tatanan dan otoritas yang telah mapan dalam masyarakat.
Apa yang telah mapan dalam masyarakat bisa dalam bentuk nilai-nilai dan perilaku sosial yang tidak sesuai dengan yang diyakini gerakan ini. Negara atau pihak yang berwenang seperti polisi juga dianggap tidak mampu lagi mencegah dan menghentikan apa yang dianggap penyimpangan ini. Karena itu, gerakan ini bisa jadi merupakan respons terhadap otoritas terkait, terutama lembaga hukum dan penegaknya, yakni polisi. Front Pembela Islam (FPI), yang belakangan muncul, merupakan contoh nyata dari gerakan semacam ini. Ia muncul dalam konteks keterbukaan politik di satu pihak, dan dalam konteks penegakan hukum kita yang lemah di pihak lain. FPI muncul sebagai perlawanan terhadap perilaku sosial yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma Islam yang mereka yakini. Perasaan terancamnya nilai-nilai dan komunitas Islam oleh nilai-nilai dan kelompok-kelompok non-Islam juga merupakan pendorong penting bagi munculnya gerakan seperti ini. FPI mendefinisikan diri sebagai gerakan yang punya wewenang untuk mengambil tindakan sendiri terhadap perilaku sosial kelompok masyarakat lain yang dianggap telah menyimpang dan merusak norma-norma Islam. Gerakan ini tidak hanya berupa protes dan menyampaikannya kepada pihak yang berwenang seperti DPR, tapi juga melakukan eksekusi langsung terhadap sasaran, seperti tempat-tempat yang dianggap memfasilitasi perbuatan maksiat, atau lembaga-lembaga publik yang dianggap merugikan komunitas Islam. Perusakan dan kekerasan terhadap orang atau hak milik orang lain ini dianggap benar demi Islam. Gerakan ini berperilaku seperti polisi yang bertugas menegakkan hukum surgawi di masyarakat dengan keyakinan bahwa partisipan gerakan ini akan mendapatkan pahala. Partisipan gerakan ini bagaikan polisi-polisi surgawi, berpakaian putih dan berpeci putih, yang merupakan simbol kesucian Islam, simbol kesucian surgawi. Tapi, negeri ini dibangun bukan atas konstitusi surgawi, bukan pula atas hukum-hukum sakral, tapi atas dasar Pancasila dan UUD 1945, dan KUHP yang berasal dari Eropa. Setidaknya sampai hari ini. Kemunculan gerakan polisi surgawi ini merupakan wujud nyata dari pembangkangan dan perlawanan terhadap polisi, satu-satunya lembaga negara yang berwenang menjaga ketertiban umum untuk menciptakan ketertiban masyarakat kita yang pluralistis dilihat dari keterikatan mereka dengan wilayah surgawi. Gerakan polisi surgawi mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat kita punya pandangan yang berbeda-beda tentang surga dan cara untuk mencapainya. Polisi surgawi berusaha menghapuskan keragaman ini. Bagi gerakan polisi surgawi, keragaman pandangan tentang surga dan cara untuk mencapainya ini pada dasarnya merupakan kenyataan yang sebisa mungkin harus dihapuskan. Keragaman itu diyakini hanyalah ilusi, penampakan yang menipu, diciptakan oleh nafsu dan iblis yang harus diperangi. Para sarjana gerakan sosial percaya bahwa setiap gerakan sosial terkait dengan konteks politik makro. Fluktuasi gerakan sosial terkait dengan terbuka dan tertutupnya struktur politik nasional. Gerakan polisi surgawi merupakan fenomena langka di zaman Orde Baru karena tidak dimungkinkan oleh struktur politik nasional. Sejak Soeharto tumbang, struktur politik nasional jauh lebih terbuka: berbagai gerakan sosial, ormas, dan partai politik bermunculan, dan masing-masing tidak diharuskan berideologi Pancasila. Entah kebetulan atau tidak, gerakan polisi surgawi ternyata tidak sendirian. Ia merupakan gerakan di tingkat massa. Di tingkat elite, semangat semacam gerakan polisi surgawi ini dapat ditemukan di sejumlah partai politik seperti PPP, PBB, dan PK. Partai-partai ini berideologi Islam. Terakhir, isu Piagam Jakarta kembali diangkat oleh partai-partai ini dalam perdebatan di MPR. Mereka menghendaki Piagam Jakarta dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, berarti kata-kata "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya", yang telah dihapus dari pembukaan tersebut, dikembalikan. Tuntutan partai-partai Islam ini tentu akan memberikan landasan konstitusional yang kuat bagi keberadaan gerakan polisi surgawi, kalau memang tuntutan ini sampai terpenuhi. Memang, selama partai-partai Islam belum mendominasi MPR/DPR, tuntutan tersebut kemungkinan besar tidak akan terpenuhi. Mungkin karena sadar akan sulitnya menempuh cara-cara konstitusional untuk menegakkan tatanan surgawi di bumi Indonesia ini, gerakan polisi surgawi, seperti yang telah ditunjukkan oleh FPI, merupakan alternatifnya. Kalau partai-partai Islam tersebut sukses dalam upaya mengembalikan Piagam Jakarta, gerakan polisi surgawi akan menjadi kurang relevan. Sebab, ia akan diganti dengan polisi surgawi yang punya wewenang penuh dari negara. Ia bukan lagi gerakan, melainkan organisasi atau lembaga formal dalam negara. Masyarakat politik di Tanah Air tentunya harus segera menyadari bahwa FPI dan gerakan sejenis, dan partai-partai Islam yang tampak konsisten dengan aspirasi ideologis partai-partai Islam tahun 1950-an, merupakan pertanda dan peringatan: integrasi masyarakat Islam ke dalam negara-bangsa Indonesia modern, yang menjamin kesetaraan semua komponen masyarakat beragama dan kebebasan bagi setiap individu untuk menjalankan agama sesuai dengan yang diyakininya, merupakan agenda yang masih belum tuntas. Dalam politik demokrasi, masa depan polisi surgawi akan sangat ditentukan oleh perkembangan partai-partai Islam, di samping oleh gerakan seperti FPI. Tapi, kekuatan partai-partai Islam sebagian besar akan ditentukan oleh sejauh mana umat mampu membedakan wilayah politik dan agama. Dan untuk sementara ini, mayoritas umat sudah menunjukkan kemampuannya ini: menghukum partai-partai Islam hingga menjadi partai-partai minoritas di MPR/DPR. Ini tentu saja membuat polisi surgawi tidak konstitusional. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |