Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dunia Gelap John Kei

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENANGKAPAN John Kei, jagoan yang dituduh terlibat pembunuhan seorang pebisnis, semestinya dijadikan momentum buat memangkas premanisme. Perkembangan kelompok kekerasan di Ibu Kota kini telah mencapai tahap mencemaskan. Kepolisian mesti bertindak tangkas agar kelompok-kelompok jagoan itu tidak terus membesar.

Harus diakui, bukan perkara mudah membereskan kelompok pelaku kekerasan itu. Penyebabnya terutama justru sejarah kedekatan kelompok-kelompok itu dengan aparat keamanan. Padahal satu-satunya lawan yang bisa menghadapi kelompok kejahatan terorganisasi adalah aparat penegak hukum yang jujur. Ambil contoh Eliot Ness yang melawan Al Capone dalam sejarah gangster Amerika Serikat—kisahnya menjadi inspirasi film The Untouchables.

Kita tahu "bisnis kekerasan" tumbuh subur di tengah aparat korup negeri ini. Alih-alih menekuk premanisme sebelum membesar, tak sedikit polisi atau tentara melestarikannya, bisa sebagai sumber ekonomi atau peranti penekan kelompok lain. Birokrat-politikus pun acap memanfaatkan kelompok preman—yang maujud dalam pelbagai organisasi, misalnya, menjelang pemilihan umum.

Dari segi ekonomi, skala "bisnis kekerasan" bisa jadi sangat menggiurkan banyak kalangan. "Subsektor" bisnis ini merentang dari jasa penagihan utang, penjagaan lahan sengketa, pengelolaan jasa parkir, sampai pengamanan tempat hiburan dan perkantoran. Beberapa kelompok memasuki pasar gelap senjata dan narkotik, juga jasa pembunuh bayaran. Jika tuduhan polisi benar bahwa John Kei terlibat pembunuhan bos PT Sanex Steel, Tan Harry Tantono alias Ayung, pada 26 Januari 2012, bisa jadi ia telah merambah "subsektor" pembunuh bayaran ini.

Kelompok John Kei semula merupakan penguasa usaha penagihan utang. Menurut investigasi Tempo yang terbit November 2010, John dan teman-temannya juga mendirikan kantor pengacara—satu hal yang lazim dilakukan kelompok jagoan untuk mengesankan usahanya legal. Kelompok jagoan lain membawa bendera agama, suku, atau onderbouw suatu organisasi politik untuk berebut ceruk di dunia gelap ini.

Yang hampir selalu dilakukan kelompok jagoan adalah memajang pensiunan polisi atau militer—juga tokoh politik—misalnya, sebagai pelindung organisasi. Ini membuat mereka tampak sedemikian besar, seolah-olah menjadi momok bagi aparat keamanan untuk bertindak. Karena itu, keberanian aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya membekuk John Kei patut dihargai. Polisi seyogianya menyelidiki kemungkinan motif lain di balik pembunuhan—bukan sekadar urusan upah penagihan utang yang sejauh ini diungkapkan.

Sembari berharap perkara ini diteruskan ke pengadilan, kita juga meminta kepolisian melanjutkan langkah penting: mematahkan jaringan preman. Permintaan ini perlu ditekankan karena serangan preman semakin brutal dan tak mengenal tempat. Kamis pekan lalu, sekelompok orang menyerang rumah duka Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Di tempat yang dikelola Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat ini, serangan pada pagi buta itu menewaskan dua orang.

Kita tentu tak ingin kelompok jagoan berkembang tak terkendali, seperti yang terjadi di Kolombia. Di negara itu, selama bertahun-tahun, kelompok kejahatan membentuk kartel. Menguasai jaringan perdagangan narkotik dan senjata, mereka menebar teror kapan saja. Perlu operasi militer besar-besaran dengan biaya jumbo untuk menaklukkan kelompok itu. Hal yang kurang-lebih sama dialami Filipina, ketika kelompok kejahatan bertaut dengan kekuatan politik melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan.

Jaringan kekerasan di negara ini barangkali belum sedahsyat di Kolombia dan Filipina. Tapi, jika penanganannya terlambat, bukan mustahil kelompok jagoan akan berkembang ke arah sana. Benar, tanggung jawab soal ini bukan hanya milik kepolisian. Semua pihak dituntut agar tidak menoleransi segala bentuk kekerasan. Keputusan Bank Indonesia melarang perbankan memakai jasa penagihan utang bisa disebut sebagai contoh keterlibatan pihak lain dalam mencegah premanisme. Larangan itu dikeluarkan setelah penagih utang yang disewa Citibank diduga menewaskan seorang nasabah, Irzen Octa.

Toh, kepolisian tetap memikul tanggung jawab terbesar dalam mencegah perkembangan kelompok preman. Untuk itu, kepolisian wajib berbenah. Mereka perlu menyiapkan penangkal utamanya, yakni aparat penegak hukum yang jujur. Institusi ini tidak boleh memberi ruang buat polisi korup—apalagi di tempat-tempat strategis. Jika itu tidak segera dilakukan, kelak, jangan-jangan hanya ada satu pilihan buat melawan premanisme: gerakan sosial bersenjata—seperti yang dilakukan rakyat sejumlah negara di Amerika Latin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus