Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGERINGNYA likuiditas Bank Bukopin semestinya diatasi dengan pendekatan ekonomi, bukan politik. Kepentingan nasabah dan kepentingan publik yang membutuhkan sistem keuangan nasional yang stabil sepatutnya menjadi fokus penyelamatan, bukan kepentingan sebagian kelompok usaha pemilik bank tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, kisruh yang sempat terjadi seputar langkah Otoritas Jasa Keuangan menyelamatkan Bukopin seharusnya tak terjadi. Para pengambil kebijakan di sektor ekonomi dan keuangan tak boleh goyah di hadapan gerilya politik para saudagar. Regulator dan pengawas di sektor keuangan harus bertindak adil agar upaya mengamankan hak khalayak ramai tak diboncengi kepentingan macam-macam.
Apalagi solusi untuk menyelamatkan Bukopin sudah di depan mata. Salah satu pemegang saham Bukopin, Kookmin Bank, bagian dari kelompok usaha raksasa di Korea Selatan, telah menyetorkan US$ 200 juta modal tambahan ke rekening penampungan. Jika prosesnya berjalan mulus, masalah likuiditas Bukopin segera terpecahkan dan Kookmin Bank menjadi pemegang saham pengendali di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, penambahan dana Kookmin akan menggeser posisi Bosowa dari kursi pengendali Bukopin. Di sinilah tarik-menarik kepentingan diduga bermula. Pemilik Bosowa melobi ke sana-sini demi mempertahankan proporsi kepemilikannya. Slogan “melindungi kepentingan nasional” buat membendung gelontoran modal asing pun digunakan. Ini langkah yang kurang tepat. Argumentasi nasionalisme tak relevan di sini.
Bosowa tentu paham, satu-satunya jalan menyelamatkan Bukopin adalah menambahkan modal. Bagi publik, sudah seharusnya opsi penyelamatan bank tanpa uang negara diutamakan. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang. Pemerintah dituntut membiayai program penanganan wabah virus corona, membagikan stimulus buat dunia usaha, dan menyebarkan bantuan sosial untuk warga yang kesulitan. Anggaran negara yang tersedia untuk semua kebutuhan itu juga cekak.
Ketika komitmen Kookmin untuk menyelamatkan Bukopin sudah demikian terang-benderang, pemerintah jelas tak bisa bertindak lain. Melakukan intervensi atas proses penambahan modal yang sedang berjalan, dengan meminta bank-bank BUMN menjadi penyelamat Bukopin, misalnya, akan mengirim sinyal negatif ke pasar. Pemerintah bisa dituduh melakukan proteksionisme demi melindungi kepentingan segelintir pengusaha.
Tak hanya itu. Biang masalah Bukopin sebenarnya bermula dari dirinya sendiri. Selama beberapa tahun terakhir, Bukopin punya masalah kredit macet yang serius. Masalah ini baru terkuak ke publik pada 31 Desember 2019 dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pada Desember 2017, BPK menemukan ada kredit macet Bukopin senilai Rp 824,64 miliar di PT Amanah Finance, perusahaan pembiayaan syariah milik Kalla Group. Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, adalah paman Erwin Aksa, Presiden Komisaris PT Bosowa Corporindo, yang mengendalikan Bukopin. Pada 2015-2017, laporan keuangan Bukopin juga sempat direvisi gara-gara temuan penggelembungan pendapatan kartu kredit.
Penyakit Bukopin tak akan terlampau parah jika sistem pengawasan berjalan optimal. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan 2017-2019, Otoritas Jasa Keuangan disebut tidak menjalankan fungsinya dengan benar di Bukopin. Pasalnya, OJK dinilai terlambat menempatkan Bukopin dalam kategori bank yang perlu pengawasan intensif.
Akibat berbagai masalah itu, kesehatan Bukopin terus memburuk. Sampai awal Juni lalu, dana pihak ketiga di Bukopin telah berkurang hingga Rp 15,67 triliun. Dana simpanan nasabah tergerus Rp 4 triliun hanya dalam waktu tiga bulan. Di sisi lain, penyaluran kredit jangka panjang Bukopin justru bertambah meski pendanaan bank didominasi simpanan jangka pendek.
Akibatnya bisa ditebak: dua indikator likuiditas Bukopin, yakni rasio kecukupan likuiditas dan rasio pendanaan stabil bersih, terus melorot mendekati ketentuan batas minimum yang diperbolehkan. Jika tak ada penyelamatan, Bukopin bisa kolaps.
Masalah yang membelit Bukopin seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku ekonomi di Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan harus bekerja lebih profesional. Mereka tidak perlu menggunakan aspek-aspek selain pertimbangan teknis perbankan dalam mengawasi dan mengatur bank-bank di Indonesia.
Direksi baru Bukopin yang ditunjuk dalam rapat umum pemegang saham pekan lalu seyogianya segera bekerja menenangkan nasabah. Bersama OJK, mereka harus memastikan proses penambahan modal Bukopin berjalan lancar. Kita semua tentu tak mau mengalami krisis perbankan di tengah pagebluk Covid-19.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo