SEPOTONG sejak tergantung di sebuah makam tua di Delhi, tempat seorang wali di kuburkan. Yang mengubahnya adalah Muhammad Iqbal, penyair Islam dari anak benua India, yang waktu itu berumur 27 tahun. Yang dituliskannya adalah sebuah pujaan kepada sang wali: sufi besar Nizamuddin Auliya. Itu tahun 1903, kurang lebih. Waktu itu hubungan Iqbal dengan tasawuf sangat dekat. Dua tahun kemudian, ia berangkat ke Eropa. Ia belajar di Cambridge, London, dan Munchen -- dan mendapatkan benua itu, dengan geraknya yang hidup, sebuah tauladan yang penting. "Berkat kemauan mereka untuk bertindak," tulisnya, "bangsa-bangsa Barat jadi menonjol di tengah bangsa lain di dunia." Bahkan, bagi Iqbal, untuk menghargai "rahasia hidup", kesusastraan dan gagasan dari Barat itu "merupakan petunjuk terbaik bagi bangsa-bangsa Timur." Iqbal bukannya tanpa kritik kepada Barat. Ia tak banyak beda dengan banyak pemikir Islam dan pemikir Timur lainnya. Tapi dari Iqbal -- yang menganggap pemikiran modern Barat sebagai "keturunan langsung" dari kebudayaan abad tengah Islam di Spanyol dan Sicilia -- kemudian lebih keras terdengar kritiknya kepada suatu bagian dari masa silamnya sendiri: tasawuf. Potongan sajak di makam Nazamuddin Auliya itu masih tetap ada, tapi Iqbal sudah berubah. Ia bukan lagi pemuja sufi. "Tasawuf adalah tanda merosotnya suatu bangsa", demikian ia pernah dikutip. Setiap "ajaran agama yang merintangi mekarnya kepribadian manusia" adalah hal yang "tak berharga". Dengan kata lain, Iqbal telah menjadi "aktivis", yang menyamakan dirinya dengan ombak: "Bila aku bergulung, aku ada. Bila aku berhenti, aku tiada." Tasawuf atau sufisme sebaliknya suatu sikap pasif. Kaum sufi mengutamakan tujuan "peniadaan diri" di dalam Wujud Yang Maha Luhur. Di sana diri melenyap bagaikan setetes air dalam samudra. Di sana kepribadian manusia kuncup. Bagi Iqbal, bukan itulah yang harus terjadi. Seperti ditulis dengan baiknya oleh Rajmohan Gandhi dalam Understanding The Muslim Mind, "Iqbal menghendaki manusia untuk menjadi sebutir zamrut, bukan setetes air ...." Iqbal memang tak menghendaki "penyatuan" (wisal) diri dengan Tuhan, melainkan firaq atau "pemisahan". Tulisnya dalam salah satu sajak: "Dalam wisal, kehendak mati dalam perpisahan, kenikmatan mencari." Manusia, dengan demikian, bukan sekadar mahluk lemah yang hanya bisa meletakkan kepalanya -- dengan sedikit cengeng -- di haribaan Allah. Manusia bukan seharusnya berkata seperti Chairil Anwar berkata setelah ia mengetuk pintu Tuhan: "Aku hilang bentuk, remuk". Manusia justru partner-Nya, teman kreatif-Nya. Ia punya kemandirian. Dalam kumpulan puisinya, Payam-i-Mashriq, Iqbal menceritakan sebuah percakapan manusia dengan Tuhannya: "Kau ciptakan malam -- aku nyalakan cahaya. Kau ciptakan lempung -- aku bentuk piala. Kau buat belantara, aku olah taman bunga." Dari sinilah Iqbal kemudian berbicara tentang sendi penting filsafatnya yang terkenal itu: khudi. Kata ini bisa diartikan "diri" atay "ego", atau "kepribadian" atau "realisasi diri". Sebab, bagi Iqbal, Adam (baca: manusia) diturunkan ke bumi dari surga bukan untuk dihukum, melaikan justru untuk jadi wakil Tuhan. Ia tak dirantai dengan dosa, ia bahkan diberi kemerdekaan: dan itulah yang disebut Iqbal sebagai "kemerdekaan ego insani". Kesulitan manusia ialah bahwa sering kali kemerdekaan itu menakutkan. Maka, hukum-hukum pun dipanggil dan batas-batas dipasang. Tetapi sejauh mana, sampai bila, oleh siapa? Sebab, sejumlah kalbu yang hidup, yang bisa melahirkan kearifan dan puisi, sejumlah pikiran yang aktif, yang bisa menghadirkan ide dan penemuan baru, semua itu tak selamanya dengan enak bisa diberi batas yang sudah ada, yang telah selesai. Semua itu justru kapasitas manusia untuk tidak "hilang bentuk, remuk". Jadi, bagaimana khudi manusia bergerak merdeka tapi tidak menyimpang? Jika kita membaca ulasan Rajmohan Gandhi, cucu Mahatma Gandhi yang nampak berikhtiar memahami pemikiran Iqbal dalam buku yang dikutip tadi, Iqbal sendiri akhirnya tak bisa secara memuaskan menyelesaikan soal yang pelik itu. Pada tanggal 20 April 1938 ia meninggal. Dan kita pun ingat baris sajak penghabisannya, seperti sedih dan bimbang: "Seorang arif lain akan datang, tapi mungkin pula tidak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini