SELASA malam 4 April 1989 lalu, di Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta, berlangsung suatu pertemuan menarik. Syaiful Sulun, Wakil Ketua DPR/MPR. datang menemui Y.B. Mangunwijaya. Romo Mangun memang tinggal di kompleks gereja itu. Kedatangan Syaiful Sulun kabarnya untuk minta pandangan Romo Mangun tentang masalah Kedungombo. Pertemuan empat mata itu berlangsung selama satu jam, sejak pukul 8 malam. Kedatangan Syaiful Sulun ini dinilai Romo Mangun sebagai suatu itikad baik. Saya bersyukur, ada seorang wakil rakyat dari pusat telah bersedia turun ke bawah. Dan ekstra-khusus datang ke tempat saya." katanya. Kepada tamunya ini, Romo Mangun menegaskan bahwa yang dituntut oieh warga Kedungombo hanyalah keadilan. "Para petani sudah berkorban, tapi masih harus berkorban lagi" ujarnya. Artinya. tanah warisan mereka hilang ditelan waduk, tapi mereka masih harus berkorhan lagi untuk mendapatkan lahan dengan biaya ganti rugi yang tidak sesuai. Menurut Romo Mangun, untuk menyelesaikan kasus Kedungombo itu, gampang. Ada dua alternatif pokok yang bisa ditempuh. Pertama, beri mereka uang pesangon yang cukup agar mereka bisa buka warung. Kedua, sediakan lahan untuk permukiman di tempat lain, selain di kayen. Selain alternatif pokok ini, menurut lomo Mangun, masih ada alternatif lain yang bisa ditempuh, yaitu: beri mereka tambahan ganti rugi dan beri mereka kesempatan untuk membuka usaha di waduk, misalnya usaha perikanan. Dalam pertemuan itu, Romo Mangun minta agar para dokter dan perawat bisa masuk ke daerah genangan Waduk Kedungombo. Kalau saya tidak diizinkan masuk tidak apa-apa, asalkan para dokter dan perawat diperbolehkan masuk untuk menolong anak-anak di sana," pintanya. Menurut Romo Mangun, Syaiful Sulun menampik permintaanya itu. Sementara itu, di Kedungombo sendiri air waduk secara pelan-pelan terus menapak naik. Sampai akhir pekan lalu, elevasi air sudah mencapai 82,40. dan sudah hampir menggenangi seluruh Desa Ngrakum. Di Desa Ngrakum seperti yang disaksikan TEMPO, terjadi kesibukan luar biasa. Penduduk sibuk membongkar rumah mereka, lalu ramai-ramai pindah ke lokasi yang belum terjamah air. Di lapangan Guyungan, sekitar 1 km dari desa itu, kini telah berdiri 30 buah rumah darurat, pindahan dari Ngrakum. Di tengah kesibukan ini, pemerintah terus mengimbau penduduk agar meninggalkan lokasi waduk dan pindah ke tempat yang telah disediakan. Kamis siang pekan lalu, sebuah helikopter milik PT Mantrust menderu-deru di atas lokasi waduk, menebarkan selebaran. Ada 15 ribu selebaran dijatuhkan. Selebaran berukuran folio itu dibuat tiga warna: biru, kuning, dan jingga. ditandatangani oleh Bupati Boyolali Haji Muhammad Hasbi. Ditulis dalam dua bahasa Jawa dan Indonesia. Isinya: penjelasan bahwa pembangunan Waduk Kedungombo semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sama sekali bukan untuk menyengsarakan rakyat. Masyarakat di Kecamatan Kemusu, demikian bunyi selebaran itu, agar segera mengambil uang ganti rugi dan segera meninggalkan tempat. Yang berminat bertransmigrasi agar cepat-cepat mendaftarkan diri. Yang terpenting: tanah permukiman Kayen tetap terbuka untuk mereka yang belum mau pindah. Dan jatah tanah untuk setiap kepala keluarga yang 1.000 m2 kini ditambah menjadi 2.000 m2. Yaitu: 1.000 m2 untuk rumah dan pekarangan dan 1.000 m2 lagi untuk tanah pertanian. Harganya cukup miring, Rp 160 per meter persegi, termasuk biaya sertifikat. "Kampanye" di permukiman Kayen ini akhir-akhir ini memang cukup gencar. Bantuan terus mengalir ke permukiman baru, yang baru dihuni 40 K dan 100 KK yang direncanakan. Terakhir, Rabu 7 April, warga PGRI Jawa Tengah, dengan menggunakan istilah "bakti sosial", menghibur masyarakat Kayen dengan musik dangdut, serta memberi bantuan sebuah pesawat televisi 16 inci dan 32 kotak berisi antara lain kecap, supermi, dan ikan asin. Masih banyak lagi bantuan yang diterima para pemukim baru itu. Ada bibit tanaman jambu dan mangga, berpuluh-puluh ekor ayam dan kambing, serta kebutuhan sehari-hari lainnya. Semua itu membuat Desa Kayen seolah-olah dimanjakan, sementara penduduk yang masih membandel di sekitar waduk tetap kucing-kucingan dengan air. Namun, Kayen ternyata tetap belum menarik untuk sebagian besar penduduk Kedungombo. Para "pembelot" tetap ngotot. Sampai awal April ini hanya ada tambahan 8 KK yang pindah ke Kayen, hingga jumlah pemukim di sana menjadi 40 KK. Di bidang transmigrasi, sampai akhir pekan lalu cuma ada tambahan 15 KK yang mendaftarkan diri, hingga jumlah peserta transmigrasi menjadi 160 KK. Dan sampai akhir pekan lalu, mereka yang masih tetap bertahan di wilayah Kedungombo tercatat 1.471 KK (6.807 jiwa). Tawaran Presiden Soeharto bulan lalu, yang memberi kesempatan pada penduduk agar tinggal di kawasan hutan milik Perhutani di sekitar Kedungombo, agaknya merupakan pilihan yang paling menarik. "Kami memang mengharapkan tinggal di kawasan hutan Perhutani." ujar Djaswadi, seorang tokoh masyarakat Kedungombo. "Kami menunggu saatnya bisa pindah ke kawasan bukit itu. Di sana kami akan memulai hidup baru," tuturnya. Namun, tampaknya realisasinya masih memakan waktu yang cukup lama. "Kami baru melakukan pendataan terhadap tanah yang cocok untuk permukiman," ujar Ir. Yudono Radianto, Kabag Humas Perum Perhutani Ja-Teng, kepada Heddy Lugito dari TEMPO. Kalau penduduk ini tidak cepat dipindahkan, akan timbul persoalan baru. Terutama menghadapi musim kering ini. Dengan berkurangnya curah hujan, sangat mungkin air waduk akan surut. Bupati Boyolai Hasbi khawatir penduduk akan kembali ke tempat semula. Tapi kekakhawatiran ini dijawab oleh Sutarman penduduk Ngrakum. "Kami tidak akan kembali mendirikan rumah di tempat semula. Sudah capek," ujarnya Tapi, "Untuk tanah sawah tetap akan kami garap."Kastoyo Ramelan, Slamet Subagyo, dan Sjahril Chili
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini