Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Eulogi Rachland Nashidik Buat Istri Terkasihnya

Hilang begitu saja dari hidup saya dan anak-anak. Selamanya. Apakah ini namanya bila bukan absurditas?

5 Juli 2023 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nurdiyati Kaplale (Kolom Rachland Nashidik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

I feel violently robbed.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak seperti saya, hidup Ona sehat. Dia memilih dan menjaga makanannya. Lebih banyak makan sayur. Sangat mengurangi nasi. Memilih ikan di banding daging. Jika dia kangen makanan renyah, dia menggorengnya tanpa minyak. Menggunakan air fryer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makan santan dan daging hanya sesekali. Misalnya bila menemani saya makan sop kaki kambing. Itu pun porsinya pasti selalu sedikit. Dan pasti selalu tak dihabiskan. Saya tahu, Ona sebenarnya cuma ingin berduaan. 

Tentang memilih ikan, untuk sebagian terbesar, itu ditopang kebiasaan orang Saparua, Maluku. Istri saya adalah “nona dari Ambon” dalam lagu “Bulang Pake Pajong”. Nama lengkapnya Nurdiyati Kaplale. 

Putri pertama pasangan Balkan Kaplale dan Salamah Maligana ini “kaweng bae bae” di Jakarta. Disunting pemuda keturunan Sumedang. Keluarga dan teman-teman memanggilnya “Ona”, “Caca”, “Usi”, “Kakak”, sering juga “mbak”—jarang sekali “Teteh”. 

Saya sendiri dulu memanggilnya “Onet”. Tak ada sebab khusus, cuma biar beda. Setelah anak kami lahir, saya mulai memanggilnya “Bunbun”, meniru anak-anak. Tapi saya lebih sering memanggilnya “Sayang”.

Hidup dan keinginan Ona berkitar seputar anak-anak dan suaminya. Keluarga adalah satu-satunya sumber kebahagiaannya.

Yoga, sejak ia pelajari pertamakali, mungkin lima belas tahun lalu, sudah jadi kebiasaan dalam hidupnya. Tak ada hari ia lewati tanpa Yoga. Baru-baru ini saja, ia mengambil kursus Yoga untuk terapi skoliosis.

Ia ambil kursus 500 jam ini untuk alasan yang sangat pribadi. Bukan untuk menjadi instruktur dan membuka sanggar. Melainkan agar bisa menuntun salah satu anak kami melakukan terapi sendiri. Tentu saja kursus ini sekarang tak bisa dia selesaikan. 

Ona orang yang riang, berpikiran positif, dan rajin berolah-raga. Ia sangat peduli pada kesehatan. Rutin berlatih Tai Chi. Gembira bila diajak teman-temannya Dansa Zumba.

Tiap kali bangun pagi, ia langsung bermeditasi. Melatih pernafasan. Ona belajar teknik pernafasan Buteyko. Di samping tenaga prana dan vibrational healing. Ia rutin mengingatkan suami dan anak-anaknya, dimana saja kami sedang berada, untuk bernafas dengan benar. Menarik dan membuang nafas hanya dari hidung. 

Cukup banyak kawan-kawan kami yang mengalami keluhan kesehatan atau kecemasan dibantunya. Banyak dari mereka yang merasa keluhannya diatasi, ingin memberinya tanda terimakasih. Ona tak pernah mau menerima. 

Ona tak betah cuma diam. Dia ambil kursus menulis. Les piano. Sekali waktu, ia pergi ke Kepulauan Seribu untuk ikut menanam pohon Bakau. Ia pulang dengan gembira meski kulitnya terbakar matahari. Di akhir pekan, ia mengajar baca tulis Ibu-Ibu petugas kebersihan di lingkungan rumah kami. 

Meski tak mau lagi memelihara binatang sejak Kelinci peliharaan kami mati, Ona rutin membeli makanan kucing. Bila kucing-kucing itu mengeong di luar, dia akan berlari-lari kecil menyambut. “Aduh itu ada anakku datang minta makan”, katanya seraya tertawa.

Malam setelah malapetaka itu menyerang, kucing-kucing tak bertuan itu datang lagi. Mengeong panjang pendek. Seperti ikut berduka.

***

Saya memberanikan diri melamar Ona setelah saya pulang dari pelarian, 1996. Itu setelah kami 8 tahun pacaran diam-diam. Kenapa bisa begitu lama? 

Bukan semua karena suka duka hidup saya di masa tangan besi Soeharto. Tapi terutama karena keraguan yang sangat wajar. Mana ada orang tua waras yang mau memberikan anaknya pada aktivis mahasiswa tanpa masa depan?

20 Desember tahun ini usia perkawinan kami akan menjadi 27 tahun. Tapi ditambah masa pacaran, usia percintaan kami sebenarnya jauh lebih lama. Tiga puluh lima tahun. Lebih dari setengah usia kami sendiri. 

Kami mensyukuri perkawinan perak pada tahun 2021, di Labuan Bajo. Cuma bersama tiga anak kami. Bahagia sekali. Kami berlima makan malam disinari lilin, di tepi pantai yang menjorok ke laut, dengan hidangan set menu yang lebih mahal dari jajan kami biasanya.

Kami berpelukan. Berciuman. Di hadapan anak-anak yang tertawa sambil bertepuk tangan.

Untuk perkawinan emas nanti, Ona bilang ingin membuat pesta. Mengundang kawan-kawan terdekat untuk bersaksi dan ikut merayakan. Tentu saja saya langsung mengiyakan. Tanpa sadar, manusia hanya bisa membuat rencana. 

Akhir tahun lalu, kami pergi ke Belanda. Tujuannya menjenguk anak yang berkuliah di Universitas Erasmus, Rotterdam. Tapi di Belanda, kami menemukan kesempatan untuk jalan-jalan cuma berdua. Saya pasang di Instagram foto kami berdua yang diambil di Leiden. Saya tulis caption pendek: “Berduaan dengan mantan pacar. Iya, saya bahagia.”

Tiga puluh lima tahun bersama, romansa kami sebenarnya tak lagi terlalu membutuhkan kata-kata. Kami sudah saling memahami keinginan masing-masing hanya dengan bertatapan. 

Ia selalu tidur lebih cepat. Tapi tiap kali saya mulai merebahkan badan di sisinya, ia akan terbangun sebentar. Dari balik selimut, tangannya akan mencari tangan saya dan menggenggamnya. Saya akan membiarkannya sejenak, mencium tangannya, melepaskannya dengan hati-hati, baru kemudian memejamkan mata. 

Tiap akhir pekan, saya akan menyetir mobil sendiri, membawa Ona dan anak-anak makan malam di luar. Sambil satu tangan memegang kemudi, tangan saya yang lain akan mencari dan menggenggam tangannya. Ia baru akan melepaskan tangan saya setelah saya mengecup tangannya. 

Kebiasaan-kebiasaan kecil itu sudah jadi bagian dalam keseharian hidup kami. Tapi sesekali saya akan mengejutkannya dengan hal yang tak biasa. Saya membelikannya tas, sepatu, perhiasan, tanpa perlu momen-momen spesial lebih dulu. 

Ia akan gembira dan berterimakasih pada saat itu. Sesudahnya, ia akan mengingatkan saya agar menyimpan uang untuk hal yang menurutnya lebih perlu. “Kamu jangan belikan aku barang-barang mahal begini. Mending kamu kasih uangnya saja. Biar aku belikan logam mulia untuk disimpan.”

Seingat saya, pernah dua kali saja ia tak protes. Sekali ketika pada suatu pagi di kamar kami, di tanggal 14 Februari, mungkin tahun 2010. Saya menyodorkan cincin berlian yang saya beli di Singapura, sambil memasang muka sendu. “Will you be my Valentine?”

Dia menyambutnya sambil tertawa. Mengejek saya bertingkah seperti anak SMA. Tapi saya lihat matanya berangsur menjadi telaga.

Kali lain di hari perkawinan perak. Setelah mengucapkan selamat, saya cium keningnya, meletakkan ke dalam tangannya yang mungil kotak jam tangan. Dia tersenyum, balik  menggenggam tangan saya, dan mengatakan hal serupa janji. “Suamiku, aku mau menua dan bahagia bersama kamu.”

Baru-baru ini, menurut salah satu anak kami, Ona kerap memutar sebuah lagu masa kini sambil menyetir sendiri mobilnya. Ini di luar kebiasaan. Setahu saya, Ona lebih menyukai lagu-lagu 80-an dan 90-an. 

Lagu itu berjudul “Somewhere Only We Know”. Ditulis dan dinyanyikan anak muda bernama Keane. Tadi malam, saya mendengarkannya dengan pikiran mengembara: 

“Oh, simple thing, where have you gone?/
I'm getting old and I need something to rely on/
So, tell me when, you're gonna let me in/
I'm getting tired, and I need somewhere to begin”

***

28 Juni 2023. Hari itu sebenarnya hari libur. Tapi saya pamit keluar rumah sebentar. Mau menemui kawan lama yang sudah sepuluh tahun membantu Presiden Jokowi.

Waktu menunjukkan jam 17:59 saat saya menerima pesan teks dari Ona. “Anak Ayah mau pinjam mobil tuh. Mau pacaran.” Saya tidak membalas. Saya sudah duduk di kursi favorit saya di rumah. Ona mengira saya belum pulang. 

Dalam hitungan menit kemudian, Ona turun dari kamar kami di lantai dua. Dia memeluk matras yoga. Melihat saya sudah pulang, ia menyapa dengan keriangan yang jadi ciri khasnya. “Hellooo, eh kamu udah pulaaang?”

Semuanya laksana gambar yang sangat jelas sekarang. Dua anak lelaki kami ada bersama saya di situ. Ona masih sempat menyapa dan menggoda mereka sebelum menghampiri saya. Pipi saya dicubitnya dengan memasang muka gemas. Ia masih sempat mencium pipi saya sekilas sebelum menata matras. “Aku yoga di sebelahmu ya. Badan gak enak kalau nggak yoga.” Saya mengiyakan tanpa terlalu menanggapi. Lagipula, Yoga sudah jadi kebiasaannya. Ritual kesehariannya.

Dari sudut mata, saya melihatnya mulai berlatih, meregangkan badan sambil telungkup. Hanya dalam lintasan menit, tiba-tiba dia rebah. Ada suara ganjil terdengar. Tapi bukan layaknya orang mendengkur. 

Saya masih sempat menegurnya. “Sayang, jangan bercanda begitu deh!” Ona sering menggoda saya untuk minta perhatian. Ia misalnya suka tiba tiba menjatuhkan diri ke tempat tidur. “Aduh aduh, kakiku sakit, gak diperhatiin suami.” Dan saya akan melompat ke tempat tidur untuk memeluknya. 

Tapi suara ganjil itu berulang. Kami bertiga melompat menghampiri. Saya balikkan badannya. Saya kaget setengah mati. Matanya tertutup. Lidahnya sedikit menjulur di bibirnya yang nampak agak hijau. Bibir yang tiga puluh lima tahun saya kecup dan kulum. 

Dengan panik, kami—tiga lelaki dalam hidupnya—membopong badannya ke mobil. Ngebut secepat-cepatnya ke Rumah Sakit. Saya mengemudi seperti orang mabuk. Saya pasang hazard, memukul klakson bertalu talu agar mobil lain minggir, menerobos lampu merah. Tapi itu semua tak menolong. 

“Bapak, Ibu sudah tidak ada,” kata seorang dokter di UGD Eka Hospital, BSD. Ia mencatatkan waktu kematian Ona di surat keterangan: 18.20. 

Saya menyandarkan badan ke dinding. Pandangan saya kabur. Otak saya tak bisa bekerja. Satu anak kami lari ke luar UGD, menjerit dan menangis. Satu lagi menciumi Ibunya yang seperti sedang tidur di dipan rumah sakit. Putri sulung kami saat itu masih di kantornya. Bagaimana caranya memberitahu Ibunya sudah berpulang? 

Teman hidup. Kekasih. Sumber kekuatan saya menantang kerasnya dunia. Sahabat terbaik anak-anak kami. Dia turun dari kamar, mencandai kami, beryoga sebentar, lalu mati. Hilang begitu saja dari hidup saya dan anak-anak. Selamanya. Apakah ini namanya bila bukan absurditas? 

I feel robbed. Violently.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus