GAGASAN Saudara Sugeng Mardiono, tentang pembuatan film sejarah Proklamasi 1945, suatu gagasan yang memang ditunggu-tunggu masyarakat. Mengenal sejarah lewat film memang lebih mengesankan daripada membaca buku. Pada tahun 1959 saya pernah melihat film sejarah revolusi Meksiko berjudul juarez dengan lagu yang mengiringinya, La Paloma. Sungguh mengesankan, dan mirip perjuangan kita. Tetapi pembuatan film semacam itu merupakan dilema bagi sang produser/sutradara. Sebab, yang akan menjadi tokoh paling dominan Soekarno (Bung Karno). Sedangkan nama Soekarno saat ini, dalam istilah bisnisnya, sedang tidak in alias tabu buat disebut-sebut. Secara resmi nama Soekarno hanya disebut sekali setahun (boro-boro), pada saat pembacaan teks Proklamasi oleh ketua MPR/DPR. Selebihnya, hanya disebut presiden RI yang pertama. Upaya apa pun, yang mengurangi atau menyembunyikan peranan Bung Karno dalam pembuatan film, akan dinilai masyarakat luas sebagai pemalsuan sejarah. Akhirnya merugi, karena tidak ada yang mau menonton. Contoh penyembunyian peranan Bung Karno bisa kita lihat di diorama Monas (terakhir saya melihat pada 1981), diputarnya kembali film dokumenter peringatan 25 tahun Konperensi Asia Afrika, Konperensi Negara-Negara Nonblok, pengibaran bendera pusaka di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945, dan di forum cerdas-cermat anak sekolah di layar TV. Di semua acara itu Bung Karno tidak diekspos sebagai tokoh paling dominan. Orang menjadi cegek. Sebaliknya, bila film sejarah dibuat menurut apa adanya, mungkin saja bisa mengandung risiko. Sebab, ada orang-orang tertentu, baik di daiam maupun di luar negeri, yang dihinggapi fobi Soekarno. Padahalj yang membantu pembangunan kini umumnya negara-negara yang fobi Soekarno. Bisa-bisa mereka bilang, " Ngantos semanten kemawon rumiyin" Suatu dilema, bukan? Entah nanti bila dibuat pada tahun 2000. Waktu itu kita sudah tinggal landas, mandiri, utang-utang sudah tipis. Sementara itu, orang-orang dalam yang fobi Soekarno sudah di alam senja. Walaupun demikian, generasi penerus tidak perlu ikut-ikut sesumbar, "Ini dadaku, mana dadamu. Go to hell with your aid." Nanti kualat. Semoga kita semua menjadi bangsa yang berjiwa besar. MOECH Kelapa Gading Permai Jakarta Utara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini