Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEREPOTAN pemerintah menangani eks pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang "pulang" dari Kalimantan Barat ke Jawa terkesan bak misi kemanusiaan. Sejumlah kapal perang TNI Angkatan Laut dikerahkan mengangkut ribuan orang itu ke Jawa. Dari pelabuhan, rombongan digiring ke tempat-tempat penampungan, lalu diberi ceramah tentang nasionalisme, pengetahuan agama, dan bekal seadanya.
Ke mana mereka "dipulangkan"? Para petani mandiri ini sudah lama menetap di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Mereka membeli lahan pertanian di sana, tak ada bedanya dengan program transmigrasi swadaya yang sudah dikenal. Tiba-tiba saja, awal bulan lalu, rumah mereka dibakar penduduk lokal. Mereka dianggap kelompok berbahaya dan menganut "ajaran sesat". Pemerintah "menyelamatkan" mereka dengan mengirimnya ke luar Kalimantan, bukan melindunginya.
Apa salah mereka? Gafatar adalah organisasi sosial yang diikat "sebuah keyakinan". Kelompok ini berkembang di berbagai daerah dan mendaftarkan diri sebagai organisasi sosial kemasyarakatan di pemerintah daerah setempat. Pada 14 Agustus 2011, Gafatar menyelenggarakan kongres dan memilih Mahful M. Tumanurung, lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, sebagai ketua umum. Program utama Gafatar adalah pertanian mandiri.
Mengamalkan "keyakinan beda" membuat Gafatar, yang berfokus pada pertanian, tak tahan kecaman. Pada 13 Agustus 2015, kelompok ini resmi membubarkan diri melalui kongres luar biasa.Sejak itu, kata Mahful, semua anggota eks Gafatar diberi keleluasaan untuk tetap menjalankan program. Termasuk tetap dengan keyakinan yang dianutnya.
Keyakinan ini yang jadi masalah. Majelis Ulama Indonesia menyebut Gafatar kelompok sesat karena menyimpang dari ajaran Islam. Gafatar tak mengajarkan ibadah salat dan puasa, misalnya. Apakah ini sesat? Dengarkan kata Mahful: "Kami memang tidak memiliki paham yang sama (dengan Islam). Kami bukan bagian dari Islam." Mahful dalam konferensi pers di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Selasa pekan lalu, melanjutkan, "Bagaimana bisa diberi fatwa sesat kalau kami berada di luar?"
Mahful benar. Pemerintah harus menghormati keyakinan rakyatnya karena konstitusi menjamin hal itu. Seseorang yang telah keluar dari keyakinan yang dianut sebelumnya, lalu memilih keyakinan yang baru, harus dihormati. Mahful jelas menyebut keyakinan kelompoknya "di luar Islam". Kenapa dihadiahi predikat sesat oleh majelis agama Islam?
Eks Gafatar tetap mempertahankan kedaulatan pangan seperti disebut Mahful. Bukan berdemo dengan kekerasan atau merobohkan patung di taman kota, atau sweeping di tempat hiburan, sebagaimana yang dilakukan ormas lain. Tuduhan bahwa Gafatar berniat mendirikan negara juga dibantah Mahful. Andai pun Mahful berkelit, apakah niat saja sudah bisa dianggap tindakan pidana? Bagaimana dengan Hizbut Tahrir Indonesia yang sudah jelas ingin mendirikan kekhalifahan dan tak mengakui Pancasila? Sedangkan Gafatar—ketika belum bubar—mencantumkan Pancasila di anggaran dasarnya.
Kesalahan kelompok ini adalah sebagian dari mereka berpisah dengan keluarga intinya. Itu pun kalau disebut salah, karena jamak terjadi, jika ada salah satu anggota keluarga yang pindah keyakinan tanpa didukung keluarga mayoritas, dia pasti menyempal. Rupanya, pemerintah menjadikan hal ini sebagai alasan pokok dalam "memulangkan" eks pengikut Gafatar. Pemerintah terlalu repot dan kasus ini bisa jadi masalah baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo