Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya nama Aman Abdurrahman dalam teror di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, semakin menguak tabir serangan terkutuk ini. Delapan orang tewas pada pagi nahas tersebut—termasuk empat pelaku. Sejumlah orang terluka, juga Ajun Inspektur Satu Budiono, polisi yang dihajar tiga pelor hingga tembus ke punggung.
Polisi berhasil membongkar peran Abdurrahman dan pelaku lain dalam waktu cepat. Tapi adanya indikasi keterlibatan lelaki 44 tahun ini justru mempertontonkan kelalaian pemerintah mengawasi narapidana terorisme.
Abdurrahman alias Abu Sulaiman masih mendekam di penjara Kembang Kuning, Nusakambangan, Jawa Tengah. Ia adalah pendiri Jamaah Ansharut Daulah dan sudah berbaiat ke petinggi Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Pria asal Sumedang, Jawa Barat, ini diduga berhubungan dengan pelaku serangan pada 14 Januari 2016 itu.
Empat pelaku teror di Jalan Thamrin, yakni Dian Juni Kurniadi, Sunakim alias Afif, Muhammad Ali, dan Ahmad Muhazan, dikabarkan menemui Abdurrahman di Nusakambangan pada Desember tahun lalu. Mereka sempat minta restu melaksanakan amaliyah—istilah yang dipahami di kalangan mereka sebagai "melancarkan serangan". Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti bahkan mengatakan semua jaringan teroris ISIS di Indonesia berkaitan dengan Abdurrahman.
Semua indikasi itu merisaukan karena menggambarkan kegagalan negara mencapai tujuan pemenjaraan. Sesuai dengan undang-undang, narapidana ditempatkan di lembaga pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya dan memperbaiki diri. Selepas dari bui, narapidana diharapkan bisa hidup secara wajar sebagai warga yang baik. Alih-alih menjadi tempat penginsafan, penjara malah jadi tempat nyaman buat merancang teror.
Pemerintah tampaknya tak mampu menjinakkan narapidana terorisme. Sunakim alias Afif, pelaku bertopi dan beransel, yang wajahnya tertangkap kamera fotografer Tempo, misalnya, baru keluar dari penjara pada Agustus tahun lalu. Sebelumnya, ia terjerat kasus pelatihan militer di Gunung Bun, Jalin, Jantho, Aceh Besar, pada 2010. Kasus ini pula yang menyebabkan Abu Bakar Ba'asyir dihukum 15 tahun penjara dan Abdurrahman divonis 9 tahun penjara. Kedua tokoh itu didakwa ikut mendanai pelatihan militer di Aceh.
Kelemahan membina dan mengawasi narapidana itu sudah lama disorot. Banyak penjahat yang semakin pintar dan mampu mengembangkan jaringan justru saat di bui. Sudah berkali-kali terungkap, banyak bandar narkotik yang mampu mengendalikan anak buahnya dari balik teruji. Kelemahan ini seharusnya diatasi. Apalagi hingga sekarang masih sekitar 250 pelaku terorisme menghuni penjara yang tersebar di berbagai provinsi.
Harus diakui, tak gampang membuat para narapidana terorisme jadi insaf. Tapi setidaknya pemerintah perlu meningkatkan pengawasan agar para narapidana itu sulit berkomunikasi dengan rekan mereka, apalagi menyusun rencana serangan. Komunikasi dengan dunia luar semestinya pula dilarang agar mereka tak menyebarkan ajaran teror dan pembaiatan anggota lewat Internet.
Para pejabat tak perlu saling menyalahkan, apakah polisi yang kecolongan atau petinggi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang kurang mengawasi penjara. Kelemahan bisa terjadi pada keduanya sehingga teror di Jalan Thamrin meletup. Pengawasan terhadap bekas narapidana terorisme juga tidak maksimal. Padahal saat ini sekitar 400 bekas narapidana terorisme telah selesai menjalani hukuman dan membaur lagi dengan masyarakat.
Program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan beberapa kementerian pun kurang efektif sehingga banyak bekas narapidana terorisme yang akhirnya beraksi lagi. Pemerintah seharusnya mengoptimalkan program berbiaya ratusan miliar rupiah itu. Harus ada koordinasi yang rapi antar-instansi agar program ini tepat sasaran dan tak terkesan sekadar bagi-bagi proyek.
Bila upaya melunakkan mantan narapidana terorisme dilakukan maksimal dan diikuti pengawasan ketat di penjara, niscaya ancaman terorisme bisa diredam. Ada yang mengusulkan penjara khusus bagi narapidana terorisme dengan pengawasan superketat. Tapi saran ini perlu dikaji serius karena di banyak negara, termasuk Amerika Serikat, penjara khusus model ini justru dikecam. Penjara superketat dianggap melanggar hak asasi manusia sekaligus kurang efektif mengurangi terorisme.
Pengawasan lebih ketat terhadap narapidana terorisme bisa pula dilakukan tanpa harus mengumpulkannya dalam satu lokasi. Perilaku sehari-hari mereka perlu dipantau. Mereka benar-benar disiapkan untuk bisa hidup "normal" selepas dari bui.
Publik memerlukan perlindungan negara dari ancaman teror. Jangan biarkan kekerasan laknat itu terus menghantui kendati ratusan pelaku kejahatan ini sudah mendekam di penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo