Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUKUP menggembirakan menyaksikan kehati hatian umat Islam-khususnya para calon haji manakala menerima informasi mengejutkan ini: vaksin meningitis yang harus disuntikkan ke tubuh mereka ternyata mengandung unsur babi. Atau lebih pas lagi dikatakan bahwa sang vaksin dalam pembuatannya melibatkan enzim babi (porcine, protease) sebagai katalisator.
Meski pemerintah Kerajaan Arab Saudi mewajibkan suntikan vaksin untuk setiap anggota jemaah, tak sedikit calon jemaah haji dan umrah yang pantang mundur menolak mematuhi aturan baru itu. Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sebelumnya mengharamkan vaksin buatan GlaxoSmithKline dari Belgia itu, kemudian menempuh jalan yang lebih pragmatis: menghalalkan pemakaian produk itu sampai tersedianya produk baru yang proses pembuatannya tak melibatkan enzim babi. Toh, sebagian calon jemaah haji tetap pada pendirian semula.
Kontroversi tentang sang enzim kini mengalir sampai jauh dan pembahasannya meliputi pelbagai bidang, dari farmakologi hingga fikih. Majelis Ulama berpegang pada pendekatan darurat: terpaksa menghalalkan lantaran tidak ada pilihan lain untuk melenyapkan ancaman meningitis atau radang selaput otak itu. Sedangkan Departemen Kesehatan masih pada posisi awal: tidak ditemukan unsur babi dalam sang vaksin. Jelas ada perbedaan antara vaksin itu (produk) dan proses panjang yang melibatkan penggunaan katalis enzim yang berasal dari babi itu.
Babi boleh jadi merupakan hewan yang sering dipersalahkan telah menerbitkan endemi mutakhir seperti flu babi. Tapi, mesti diakui, babi termasuk hewan favorit pabrik farmasi di negara maju. Di samping mudah diternakkan, hewan yang 96 persen DNA nya mirip manusia itu sangat diandalkan dalam pelbagai penelitian di laboratorium. Karena itulah, dalam menyelenggarakan haji tahun ini, pemerintah Arab Saudi terpaksa menggunakan vaksin yang melibatkan enzim babi itu, setelah wabah meningitis berjangkit di negeri tersebut. Ada data tahun 2000 yang menunjukkan bahwa jemaah haji Indonesia yang menderita meningitis berjumlah 14 orang-enam di antaranya meninggal di Arab Saudi. Entah berapa korban akan jatuh bila jemaah menolak vaksinasi itu tahun ini.
Ibadah haji, bagi penganut agama Islam, sering dikaitkan dengan kesempurnaan dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka yang sudah melaksanakan rukun Islam terakhir itu dianggap telah paripurna dalam memeluk Islam. Ibadah itu biasa disebut "naik haji" untuk menggambarkan sebuah tingkatan yang lebih tinggi yang hendak digapai melalui ibadah ini.
Cukup mengharukan menyaksikan usaha calon jemaah haji dan umrah Indonesia dalam memisahkan yang halal dari yang haram. Apalagi banyak jemaah yang tak berkelimpahan harta dan harus menabung bertahun tahun untuk bisa menunaikan ibadah yang diwajibkan sekali seumur hidup itu.
Pemisahan halal dan haram dalam ibadah haji sebaiknya tidak cuma meliputi urusan vaksin. Soal vaksin yang sekarang menjadi tema kontroversial di kalangan ahli fikih itu seharusnya tidak menjadi prioritas penting apabila dibandingkan dengan urusan lain yang menerbitkan mudarat lebih luas. Misalnya keluarga pejabat yang dibiayai dengan uang dinas, menyogok petugas haji agar bisa sesering mungkin pergi ke Tanah Suci, atau memanipulasi ongkos naik haji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo