Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya tradisi itu dilanjutkan, pada Oktober nanti gedung DPR akan berkilau bermandi cahaya. Soalnya, 678 anggota Dewan akan mengenakan cincin emas murni. Dibeli dengan anggaran negara, cincin itu merupakan tanda terima kasih. Ini saja aneh. Prestasi anggota Dewan jelas tak seragam, mengapa pula semua anggota diberi cincin yang sama. Bukankah para koruptor di Senayan lebih layak mendapat borgol ketimbang cincin berbahan apa pun.
Bukan itu saja. Anggota Dewan yang baru dilantik akan menambah kilau gedung DPR, karena mereka akan mendapat lencana emas. Itu tanda selamat datang, demikian Sekretariat DPR, yang menganggap keputusan ini sebagai hal yang wajar karena ”sudah tradisi”.
Ongkos untuk meneruskan tradisi ini, pada 2009 sesuai dengan harga emas, tentu saja adalah Rp 4,9 miliar. Pemborosan ini mesti ditolak. Dua alasan bisa diajukan.
Pertama, tradisi ini bisa membuktikan bahwa kita tergolong bangsa yang suka disebut ”bogor” alias biar bokek asal kesohor. Kita tergolong negara miskin tapi gemar betul menghambur hamburkan uang untuk urusan yang tak perlu. Lagi pula, tradisi begini bisa saja menimbulkan peluang korupsi. Dua belas tahun lalu, pernah terjadi insiden ketika para anggota Dewan mengembalikan cincin yang dibagikan. Mereka sadar bahwa ini penghamburan uang negara? Bukan. Itu karena berat cincin emas tersebut tak sesuai dengan yang dijanjikan. Betapa jauh rasa malu dari mereka ini. Kalaupun cincin dan lencana itu penting betul sebagai kenang kenangan, bukankah bisa menggunakan bahan lain yang jauh lebih murah?
Kedua, bekerja keras selama lima tahun sebagai wakil rakyat adalah sebuah kewajiban. Para anggota DPR sudah diberi imbalan yang luar biasa dari anggaran yang selalu mengalami kenaikan. Anggaran untuk mereka selama lima tahun Rp 6,54 triliun. Gaji mereka lebih dari cukup. Jika dihitung secara garis besar, gaji dan tunjangan yang diterima setiap anggota mencapai sekitar Rp 1 miliar per tahun.
Kalaupun cendera mata ini dianggap penting untuk kenang kenangan, seharusnya kinerja mereka harus menjadi pertimbangan. Prestasi Dewan yang masa tugasnya akan berakhir pada Oktober ini tidak bersinar. Dari 284 rancangan undang undang yang berada dalam daftar prioritas program legislasi nasional, mereka hanya menyelesaikan 155 buah. Angka ini jauh di bawah kinerja DPR periode sebelumnya, yang menghasilkan 172 undang undang.
Di samping meragukan kinerja anggota DPR, masyarakat juga mempertanyakan integritas para anggota Dewan. Banyak dari mereka yang tidak sungguh sungguh bekerja untuk rakyat. Tak sedikit pula anggota DPR yang absen rapat—walaupun secara ajaib tanda tangan kehadiran mereka selalu nongol. Akhir akhir ini yang sering menjadi bulan bulanan media adalah anggota DPR yang lebih sering menjadi makelar proyek atau mencari peluang untuk menggunakan anggaran negara dengan segala cara. Maka tidaklah mengherankan jika beberapa dari mereka kemudian tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jadi, alih alih diberi cendera mata, para anggota DPR angkatan ini lebih pantas mendapat ”sanksi” karena rapornya merah. Pada akhir masa bakti seharusnya anggota Dewan mengumpulkan sebagian ”rezeki” yang mereka nikmati sejak diangkat oleh rakyat untuk disumbangkan kepada rakyat yang bolehlah diwakili korban bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir, misalnya korban lumpur Lapindo atau bisa juga korban gempa Yogya. Cincin emas, lencana emas, sungguh tak layak untuk prestasi yang robat rabit itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo