Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pemilu, Krisis Kekuasaan, dan Pelindungan HAM

Pertarungan para calon presiden dalam Pemilu 2024 bisa berujung pengerahan massa dan kekerasan. Mencederai hak asasi pemilih.

1 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Rudy Asrori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemilu adalah penanda krisis politik karena arena pertarungan kekuatan politik dibuka.

  • Pertarungan para kontestan bisa berujung pada pengerahan massa dan ujaran kebencian.

  • Situasi semacam itu pertama-tama akan mencederai hak-hak asasi pemilih.

Amiruddin al-Rahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua Komnas HAM periode 2020-2022

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesungguhnya pemilihan umum bukanlah pesta. Kenyataannya, pemilu adalah penanda terjadinya krisis politik karena arena pertarungan bagi kekuatan-kekuatan politik dibuka. Ini terjadi karena penguasa lama mulai meluruh kekuasaannya, sementara calon penguasa baru mulai pasang kuda-kuda untuk mengambil kekuasaan. Hal tersebut semakin tampak ketika tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo-Mahfud Md., serta Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar—resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Meskipun dalam sistem politik demokrasi hasil pemilu ditentukan di bilik suara, proses menuju bilik suara itu penuh dengan dinamika dan persaingan yang tajam. Pemilu kemudian menjadi penuh intrik, pengerahan massa, manipulasi opini, bahkan bisa menjadi ajang hasutan dan penyebaran kebencian yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia.

Bisa pula pemilu itu gagal karena pemilih tidak bisa datang ke bilik suara. Bahkan bisa pula dinamika politik jatuh ke dalam konflik terbuka dan berdarah. Banyak negara mengalami hal seperti itu. Indonesia mengalaminya pada 1997. Saat itu hasil pemilu tidak diterima masyarakat, yang menyebabkan presiden terpilih dan kabinetnya terpaksa mundur pada Mei 1998. Pemilu pun terpaksa kembali digelar pada 1999.

Jadi setiap pemilu menciptakan ketidakpastian. Ketidakpastian terjadi karena pemilu adalah momentum penghakiman rakyat pemilih terhadap penguasa. Konsekuensi penghakiman itu adalah bisa terjadinya pergeseran elite serta perubahan posisi dan konfigurasi elite dalam mengendalikan kekuasaan negara. Elite-elite politik yang berebut kekuasaan itu bisa berkelahi atau malah bersekongkol.

Hal itu bisa tampak dari denyut politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dari adanya pembelahan sikap massa terhadap kandidat-kandidat peserta pemilu hingga pecahnya konflik terbuka dengan kekerasan. Ruangnya bisa dimulai di dunia nyata sampai dunia maya.

Pelindungan Hak Asasi

Ketika krisis kekuasaan terjadi, hak asasi manusia warga negaralah yang pertama kali bisa tercederai. Ada dua faktor yang membuat hal itu terjadi. Pertama, hilangnya konsentrasi pemerintah (penguasa) terhadap tugas-tugas pokoknya dalam pelayanan publik, terutama pelindungan serta pemenuhan hak-hak dasar, seperti hak atas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Hal ini bisa dilihat dari berkurangnya anggaran hingga buruknya pelayanan di berbagai instansi pemerintah karena rendahnya pengawasan.

Dalam konteks pemilu yang kini sedang berproses, gejala itu mulai tampak. Kabinet Joko Widodo saat ini mulai goyah. Beberapa menteri mulai tampak sibuk mengurus kontestasi politik, baik untuk memenangkan partainya maupun calon presiden yang mereka usung. Bahkan ada menteri yang menjadi calon legislator, yang tentu mulai sibuk mengurus kampanye di daerah pemilihannya.

Di Koalisi Indonesia Maju, yang mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, misalnya, ada ketua umum partai yang menjadi menteri, dari Menteri Perdagangan hingga Menteri Pertahanan. Adapun di koalisi Ganjar Pranowo-Mahfud Md., bahkan Mahfud yang calon wakil presiden, masih menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Hanya Koalisi Perubahan, yang mengusung Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, yang tidak melibatkan menteri. Artinya, persaingan untuk memenangkan calon presiden-wakil presiden yang diusung akan bisa membuat kerja kabinet goyah.

Kedua, berkurangnya wibawa pemerintah (kabinet). Pemerintah yang wibawanya berkurang akan memberikan ruang bagi aktor-aktor politik penantang untuk bermanuver. Manuver politik dalam pemilu sering kali menggunakan kekuatan massa, yang akan menjadi persoalan hak asasi manusia yang serius ketika kekuatan massa tidak lagi bisa dikendalikan atau memang dirancang untuk menekan pesaing sehingga kekerasan bisa pecah.

Kekerasan potensial atau kekerasan yang termanifestasi menggunakan massa, jika terjadi, akan sama berbahayanya bagi hak asasi manusia. Dalam pemilu, hak yang akan tercederai pertama kali adalah hak untuk bebas menyatakan pendapat, berekspresi, dan berkumpul. Ketika tiga serangkai hak sosial-politik ini tercederai, pemilu yang adil tidak akan terlaksana karena hak untuk memilih dan dipilih serta berpartisipasi dalam pemerintahan yang demokratis menjadi terhalangi.

Kekerasan yang menggunakan massa juga akan menciptakan ketakutan dan bentrokan massa. Intimidasi dan represi kepada pemilih bisa terjadi, baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan bisa terjadi penangkapan-penangkapan dengan dalih mengganggu keamanan. Dalam suasana seperti itu, korbannya tentu rakyat yang lemah, yang notabene merupakan pemilih dalam pemilu yang seharusnya dilindungi.

Pemilu 2019 perlu menjadi pelajaran karena meninggalkan persoalan hak asasi manusia sampai sekarang. Ketika presiden terpilih diumumkan oleh KPU, dalam hitungan jam, pecah demonstrasi massa di Jakarta dan Pontianak. Di Jakarta, jatuh sembilan korban jiwa dan di Pontianak satu korban jiwa. Puluhan orang luka-luka dan ratusan orang ditangkap. Sampai kini belum jelas pertanggungjawaban hukum negara terhadap hilangnya 10 nyawa itu.

Antisipasi

Untuk mencegah merosotnya pelayanan publik dalam rangka memenuhi hak-dasar rakyat, presiden dengan segala wibawa dan kewenangannya harus bisa memastikan para menteri menjalankan tugas pokoknya sebaik-baiknya. Di samping itu, ia harus mencegah pengalihan anggaran, dari anggaran untuk pemenuhan hak asasi dasar menjadi program-program pemenangan partai dan kandidat tertentu.

Presiden juga harus menjaga netralitas aparat, khususnya aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, serta alat pertahanan, seperti TNI. Hanya aparat hukum dan pertahanan yang netral-lah yang akan bisa berwibawa dalam mencegah dan menghentikan kekerasan massa dalam kontestasi pemilu. Ketika aparat berpihak, mereka akan mudah terjerumus menjadi bagian dari kekerasan dalam konflik.

Kita semua mau pemilu berlangsung dengan damai. Tapi segala kemungkinan yang menyebabkan terjadinya pertikaian dan kerusuhan perlu diwaspadai sejak dini.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Amiruddin al-Rahab

Amiruddin al-Rahab

Anggota Komnas HAM Periode 2017-2022

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus