Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaring pengaman sosial semestinya tak boleh ditunggangi kepentingan politik. Celakanya, itulah yang diduga terjadi di Indonesia. Di tengah panasnya panggung Pemilihan Umum 2014, bukan mustahil dana bantuan bagi rakyat miskin itu dibajak untuk mendongkrak perolehan suara.
Inisiatif Komisi Pemberantasan Korupsi menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan gubernur di seluruh negeri tentang penyaluran "bansos" sudah tepat. Para pejabat saat ini perlu ekstra-hati-hati menggunakan dana itu. Sangat tak pantas jika jaring pengaman itu tercemar usaha menjaring suara. Menjelang pemilu, pejabat daerah atau petinggi kementerian atau politikus partai gampang sekali "menumpang" kampanye pada proyek bantuan sosial.
Peringatan Komisi bukan tanpa dasar. Pos dana bantuan sosial dan hibah menanjak signifikan beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, bujet pos ini tercatat Rp 49 triliun. Tahun ini, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan, dana bantuan sosial membengkak dari Rp 55,8 triliun menjadi Rp 91,8 triliun. Menurut penjelasan Menteri Keuangan, kenaikan itu merupakan dampak program baru, jaminan kesehatan dalam payung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Toh, kecurigaan pos ini "mengembang" lantaran pemilu tak terelakkan.
Riwayat dana bantuan sosial dan hibah di negeri ini memang tak menarik. Berbagai kasus korupsi mencederai jaring pengaman sosial itu. Tahun lalu, Kejaksaan Agung mengusut penggelapan dana bantuan sosial dan hibah senilai Rp 245 miliar di Kabupaten Bogor. Di Provinsi Banten pada 2011, menurut Indonesia Corruption Watch, Gubernur Atut Chosiyah diduga menyelewengkan "bansos" sekitar Rp 34,9 miliar. Korupsi dana bantuan sosial di Banten ini patut disangka terkait erat dengan agenda pemenangan pemilihan kepala daerah.
Akuntabilitas penyaluran pos jaring pengaman sosial ini masih rendah. Data kependudukan yang tak bisa diandalkan merupakan celah manipulasi. Audit Badan Pemeriksa Keuangan menyimpulkan, data penerima bantuan kerap tidak sama dengan fakta lapangan. Banyak dijumpai indikasi proposal fiktif dan penggelembungan jumlah penerima. Pembuktian penyelewengan, menurut Badan Pemeriksa, sulit dilakukan lantaran laporan "bansos" biasanya sudah "dimasak" rapi jali.
Sebetulnya, masyarakat kelas bawah sangat membutuhkan jaring pengaman ini. Membekukan total aliran dana "bansos" bukanlah pilihan bijak. Langkah itu tak ubahnya membasmi hama tikus dengan membakar ladang dan lumbung sekaligus. Perbaikan sekolah yang hampir roboh, contohnya, tak bisa menunggu. Begitu pula pembiayaan jaminan kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Mustahil menginstruksikan "stop berobat di rumah sakit" sampai presiden dan kabinet baru dilantik pada Oktober nanti.
Penundaan penyaluran sebagian dana "bansos" agaknya solusi yang masuk akal. Permintaan KPK untuk menghentikan sementara penyaluran "bansos" perlu diikuti, tapi pemerintah perlu memberi perkecualian untuk beberapa pos yang urgen. Misalnya pendidikan, kesehatan, dan penanggulangan bencana.
Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengevaluasi dana bantuan sosial. Pengawasan ketat merupakan kunci keberhasilan program ini. Penyatuan dana bantuan sosial yang terserak-serak di sejumlah kementerian niscaya mengurangi tingkat kebocoran. Tanpa pembenahan mendasar, dana bantuan sosial tetap riskan menjadi "kuda tunggang" kepentingan pejabat atau partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo