Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alangkah aneh alasan Lembaga Sensor Film melarang pemutaran film Noah. Film yang mengisahkan kehidupan Nabi Nuh itu tak lulus sensor karena dianggap tak sesuai dengan Al-Quran. Lembaga itu juga menyatakan penayangan film yang diputar serentak pada 28 Maret ini dikhawatirkan akan menyesatkan masyarakat. Pernyataan ini jelas melecehkan kecerdasan penonton.
Penonton di mana pun tahu bahwa film Hollywood yang dibintangi Russell Crowe ini adalah karya fiksi, bukan dokumenter yang mesti taat pada kejadian asli. Produser film ini juga telah jauh-jauh hari mengatakan bahwa cerita yang diangkat oleh sutradara Darren Aronofsky ini merupakan interpretasi imajinatif dari Alkitab, bukan Al-Quran.
Penjelasan ini menunjukkan dasar pelarangan Lembaga Sensor Film keliru dan salah alamat. Jelas-jelas sang pembuat sama sekali tak merujuk pada Al-Quran. Rujukan itu pun bukan merupakan penggambaran utuh dari kitab suci, melainkan lebih pada tafsir kreatif atas cerita dalam Alkitab.
Kisah Nuh tak hanya ada dalam kitab suci umat Islam. Cerita nabi yang hidup 3.650 tahun sebelum Masehi itu juga ada dalam Injil dan Taurat. Injil menyebut Nuh sebanyak 58 kali. Al-Quran menyebut 43 kali. LSF tentu tahu bahwa Nuh adalah nabi banyak umat. Sebagai "nabi bersama", cerita Nuh boleh dimaknai oleh siapa pun.
LSF tak boleh bertindak diskriminatif dengan memasukkan standar satu keyakinan untuk menilai film yang bertutur tentang nabi agama-agama samawi itu. Lembaga ini bukan monopoli satu pihak. Keanggotaan badan ini pun mengakomodasi berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Bahkan, sebenarnya, penerapan ukuran keyakinan sudah tak tepat sejak awal untuk menilai film yang jelas-jelas bukan film religi ini.
Noah adalah film hiburan. Sebagaimana film Hollywood lain yang sedang getol memamerkan kecanggihan efek visual, film berbiaya Rp 1,5 triliun ini juga hendak menunjukkan kehebatan para sineas membangun perahu Nuh. Bah yang menerjang umat Nuh yang "lalai" digambarkan begitu kolosal. Sutradara juga menciptakan "kerajaan" binatang. Cerita yang dibangun dari adaptasi Alkitab justru terkesan untuk memenuhi ambisi visual itu.
Dengan unsur artistik yang lebih menonjol, sama sekali tak ada bahaya yang dapat terpantik dari film ini. Film ini jauh dari kecemasan LSF yang juga menyebut Noah film yang bisa memicu sentimen SARA.
Selain di Indonesia, Noah dilarang di Qatar, Bahrain, dan Uni Emirat Arab. Negara-negara tersebut, juga sejumlah ulama Al-Azhar Mesir, menentang penggambaran sosok nabi atau rasul dalam sebuah tayangan. LSF semestinya tak terseret ikut melarang, apalagi menggunakan argumen yang sama.
Kekeliruan serupa pernah dilakukan LSF ketika melarang film True Lies (1994) karena dituduh menghina Islam. Sama sekali tak menggambarkan sosok nabi, film itu bercerita tentang teroris berwajah Arab. Penonton yang cerdas jelas tahu tak ada hubungan antara orang Arab dan Islam kecuali bahwa agama itu diturunkan di Arab Saudi. Mengasosiasikan Islam dengan Arab secara serampangan adalah wujud pemikiran yang dangkal.
LSF sebetulnya bukan tak pernah berjalan "lurus". Badan itu pernah meloloskan film The Ten Commandments (1956), yang berkisah tentang Musa, dan The Passion of the Christ (2004), yang menggambarkan 12 jam terakhir kehidupan Isa. Kendati mengundang kontroversi, film-film itu tetap diputar. LSF semestinya belajar: tak ada konflik SARA yang tersulut oleh kedua film itu. Yang ada adalah orang-orang menonton film, mengunyah berondong jagung, lalu pulang dengan hati terhibur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo