Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBONDONG-bondongnya sejumlah tokoh dan politikus memberikan dukungan kepada bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bukanlah tontonan elok. Sudah jelas skandal Hambalang merupakan kasus korupsi kelas kakap. Setidaknya Rp 240 miliar uang negara mungkin lenyap. Beberapa orang selain Anas juga sudah menjadi tersangka. Menggiring kasus hukum ini menjadi seolah-olah persoalan politik tidak hanya mengaburkan masalah sebenarnya, tapi juga sangat mengganggu proses pengusutan.
Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu terpengaruh semua manuver itu. Anas pun, jika dia sungguh-sungguh dengan niatnya ikut membongkar kasus ini, semestinya bekerja sama, bukan menutup-nutupi semua fakta yang konon dia simpan. Kalau benar Anas tahu ada korupsi di partainya, itu semua mesti dia laporkan ke KPK, bukan digunakan untuk mengancam lawan politiknya.
Sebenarnya kasus ini tidaklah rumit. KPK menetapkan Anas sebagai tersangka atas dugaan menerima suap berupa mobil Harrier senilai Rp 670 juta. Ada bukti faktur pembelian mobil, ada pula kesaksian yang menguatkan sangkaan itu. Gratifikasi ini diduga diberikan untuk memuluskan proyek pembangunan fasilitas olahraga Hambalang yang kemudian bermasalah. Sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat itu, Anas disangka melanggar Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Antikorupsi. Jika sangkaan ini terbukti, Anas bisa dihukum maksimal seumur hidup atau paling singkat empat tahun.
Penetapan Anas sebagai tersangka tergolong alot. Sebetulnya, penyelidik sudah menyimpulkan Anas layak menjadi tersangka akhir Oktober lalu. Namun, karena KPK ingin menggali lebih jauh keterlibatannya dalam proyek bernilai Rp 2,5 triliun itu, penetapan sebagai tersangka terus tertunda. Baru dua pekan lalu para komisioner KPK akhirnya berbulat keputusan menjadikan Anas tersangka.
Proses panjang itu, ditambah keriuhan konflik politik di Partai Demokrat, membuat kasus ini makin berlarut-larut. Bocornya draf surat perintah penyidikan KPK, disusul "pencopotan tidak resmi" Anas sebagai ketua umum partainya, menciptakan kesan bahwa kasus hukum ini sudah bercampur-baur dengan konflik di Partai Demokrat. KPK pun dituding melayani kepentingan Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Majelis Tinggi Demokrat, dengan menjadikan Anas tersangka.
KPK tak perlu menggubris tudingan seperti itu. Pihak Anas pun harus menempatkan kasus ini sebagai kasus hukum. Anas belum tentu bersalah, seperti halnya dia juga belum tentu tak terlibat korupsi seperti yang disangkakan kepadanya. Kesalahannya hanya bisa dibuktikan melalui proses pengadilan. Biarlah KPK menyidik kasus ini dengan mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Anas sebaiknya malah membantu pengusutan kasus megakorupsi ini dengan membuka semua permainan kotor yang mungkin melibatkan orang-orang di partainya.
Kalau Anas mau bekerja sama, bisa saja dia dipertimbangkan menjadi justice collaborator, pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum. Anas tak perlu melangkah setengah-setengah. Bongkar saja semua yang terlibat, bahkan kalaupun ini menyangkut Edhie Baskoro, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, yang juga anak Presiden Yudhoyono.
Sekaranglah kesempatan Anas membuktikan bahwa dia memang memiliki peluru untuk membongkar kasus kakap ini. Serahkan amunisi itu kepada KPK, dan biarkan komisi antirasuah ini yang mengusutnya. Jangan lantas merespons sangkaan ini dengan manuver politik yang justru berbahaya bagi upaya penegakan hukum dan keadilan untuk semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo