Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Impian kertas

Dalam pemasokan as mulai melirik indonesia yang di duga bakal jadi raksasa bisnis kertas dunia. namun harga per rim lebih mahal ketimbang argentina. karenanya tidak bisa masuk pasar amerika.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah impian saya: tiap lembar kertas yang saya sentuh akan berubah jadi uang. Pernah impian itu hampir jadi kenyataan. Telepon di kantor saya berdering. "Dapatkah Anda memasok 1.500 kontainer kertas fotokopi setahun?" tanya teman saya di seberang. Wah, ini akan jadi bisnis besar. Sebelum saya telanjur bersorak, saya pun buru-buru melakukan pekerjaan rumah saya. Seribu lima ratus kontainer (20 footer) adalah sekitar 12 metrik ton, atau ekuivalen 5.100 rim kertas fotokopi ukuran kuarto. Dalam setiap bulan harus dikapalkan 125 kontainer, ekuivalen 1.500 ton, atau 637.500 rim kertas. Tidak kecil, memang. Permintaan pembeli di AS terhadap kertas Indonesia adalah sebuah gejala wajar. AS dalam setahun yang lalu mengalami ketatnya pasokan kertas. Beberapa instalasi pabrik kertas tua perlu diremajakan karena sudah mulai memunculkan dampak lingkungan negatif. Brasil, salah satu pemasok kertas penting ke AS, terkena tariff barrier. Tinggal Argentina dan Cili yang bisa memasok kertas dengan harga rendah ke pasar AS. AS lalu melirik ke Indonesia, negeri dengan hamparan hutan hujan tropika tak terperi. Mungkin juga karena mereka sudah membaca sajian utama majalah SWA terbitan Agustus, yang meramal Indonesia bakal jadi raksasa bisnis kertas dunia. Segera saya melintasi gerbang kantor pabrik kertas terbesar di Indonesia. Seorang asisten manajer dengan congkaknya nyaris mengusir saya. Untung, ada seorang manajer lain, seorang warga negara asing, yang bersedia mendengar saya. Kami berjanji untuk bertemu lagi di kantor perwakilannya di dekat Los Angeles. Sementara itu, saya sudah memperoleh contoh kertas untuk saya bawa ke AS dan saya serahkan kepada laboratorium pengujian bahan untuk disidik mutunya. Indikasi harga pun sudah diberikan: US$ 2,25/rim, FOB Jakarta. Harga itu terlalu tinggi, tapi mungkin bisa ditawar. Pihak pembeli mendapat dari Argentina dengan harga US$ 1,48/rim. Rendahnya harga beli ini tidak membuat pihak pembeli di AS mengeduk keuntungan besar. Memang kertas fotokopi bukanlah barang yang menggerakkan laba, baik untuk pemilik toko, untuk perantara, maupun untuk pabrik kertas. Nilai tambahnya sangat kecil bagi produsen. Para perantara tak sampai hati menaruh markup tinggi terhadap value, mereka hanya mengharap keuntungan dari volume. Di AS sekarang memang sedang berkembang sebuah cara perdagangan eceran baru. Sasarannya: volume. Konsumen diharap membeli sekaligus dalam jumlah besar ketika berbelanja. Beli bir tak hanya enam kaleng, tetapi enam lusin sekaligus. Beli daging 10 pon sekaligus. Tokonya pun jauh lebih sederhana dari penampilan supermarket. Barang-barang tak lagi dipajang, tetapi ditumpuk. Konsumen harus menjadi anggota dengan membayar uang pangkal US$ 25 setahun -- sebuah arrangement yang mirip koperasi. Tokonya pun tak disebut toko, tetapi club. Di bidang alat-alat kantor ada misalnya Office Club, Office Depot, dan Staples. Harga di sini berbeda jauh dibanding toko eceran. Lalu, pertemuan yang dijanjikan pun terjadi. Harga baru pun ditetapkan: US$ 1,8/rim, FOB Indonesia. Ditambah dengan catatan: pesanan 125 kontainer sebulan belum bisa dipenuhi saat ini. Instalasi produksi belum siap. Insya Allah, tahun depan. Impian saya pun runtuh. Harga dari pabrik di Indonesia tak bisa diprogramkan untuk masuk Office Club. Harus diakui bahwa hasil laboratorium pengujian bahan menunjukkan bahwa mutu kertas Indonesia superior terhadap mutu kertas Argentina. Tetapi pembeli di AS belum punya pengalaman membeli kertas dari Indonesia. Apakah konsistensi mutu akan menjadi kenyataan? Apakah ketepatan waktu pengiriman akan terjadi? Menjadi raksasa bisnis kertas bagi Indonesia bukanlah suatu kemustahilan. Tetapi untuk mencapai titik itu, banyak yang harus dipenuhi. Dan itu tidak akan mudah. Apalagi ketatnya pasokan kertas AS bukanlah hal yang abadi. Bulan Agustus saja tariff barrier terhadap impor kertas dari Brasil sudah akan dicabut. Kertas dari Brasil, dengan harga di bawah US$ 1,50/rim CNF, akan segera membanjiri AS. Sebelum tahun 1990 ini berakhir, Georgia Pacific dan Boise Cascade akan meresmikan pabrik baru mereka, melejitkan angka produksi kertas Amerika dengan tambahan 30%. Lalu, celah mana yang akan terbuka bagi kertas Indonesia? Ah, kita kan punya impian lain untuk menghibur diri: nilai tambah. Mengapa hanya jual kertas fotokopi kalau kita bisa bikin buku tulis, buku catatan, amplop, dan produk kertas lainnya? Nilai tambah. Alangkah saktinya kata itu. Semoga akan teruji kebenarannya. Bondan Winarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus