Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Independensi BI di Tengah Arus Politisasi

Badan Musyawarah DPR memutuskan pemilihan deputi gubernur BI ditunda, tapi Golkar dan BI bersikukuh meneruskannya. Lagi-lagi politisasi?

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank sentral dikategorikan sebagai satu dari tiga penemuan terbesar dalam peradaban manusia; dua lainnya adalah api dan roda. Anda boleh saja tidak setuju dengan pendapat itu, tapi dalam perekonomian modern, bank sentral adalah pengendali uang beredar dan penentu nilai uang. Dalam hal ini, uang bukanlah semata-mata alat tukar, dan lebih dari sekadar pengendali, bank sentral adalah stabilisator perekonomian. Dalam kontreks ini, sangat bisa dipahami bila para pelaku pasar lebih suka jika presiden dan gubernur bank sentral saling membantu dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perekonomian negara. Kualitas hubungan yang baik itulah yang diperlihatkan oleh bekas presiden Bill Clinton, seorang anggota Partai Demokrat, dengan Gubernur The Federal Reserve, Alan Greenspan, yang pendukung Partai Republik. Para pelaku pasar justru ngeri bila kedua penguasa itu berseteru dan cakar-cakaran, seperti yang pernah terjadi antara Presiden Abdurrahman Wahid dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin. Risikonya, nilai rupiah jatuh, IMF kesal, dan pinjaman lunak yang US$ 400 juta itu tak dicairkan. IMF bahkan menjadi sangat khawatir, sehingga dengan segala cara mengupayakan agar BI bisa tetap independen. Independensi itu juga yang kembali dipertaruhkan, kini, ketika DPR mengalami kisruh dalam menyikapi pemilihan deputi gubernur BI. Badan Musyawarah (Bamus) DPR sudah memutuskan untuk menunda pemilihan itu sampai Desember 2001, tapi Komisi IX DPR berupaya meneruskannya. Fraksi PDIP sependapat dengan Bamus, sebaliknya Gubernur BI Syahril Sabirin mendesak agar pemilihan dilakukan segera. Alasannya: nama-nama calon sudah diajukan sejak Februari lalu, dan tiga pekan sejak pengajuan itu, DPR sudah dapat memutuskan calon-calon mana yang dipilih. Kita tahu, sejak Februari silam, pemilihan terus tertunda. Pihak BI bukan tidak mengetahui hal ini dan tampaknya tak keberatan, mungkin karena dengan cara itu, calon-calon dari kubu Abdurrahman Wahid terganjal langkahnya ke kursi dewan gubernur BI. Kini, setelah era Gus Dur berlalu, politisi di Senayan sibuk dengan agenda mereka sendiri. Sementara itu, Undang-Undang BI belum juga selesai direvisi. Tatkala konflik memanas, ada isu bahwa di balik penundaan, Fraksi PDIP berusaha mengegolkan Benny Pasaribu sebagai deputi senior gubernur BI. Namun, tak kurang sensasional adalah isu tentang skenario Golkar yang konon melobi para calon deputi gubernur BI. Pernyataan Syahril Sabirin yang gencar mendesak agar pemilihan segera diadakan agaknya bukanlah sesuatu yang terucapkan begitu saja. Politik uang? Hal itu bisa saja dibantah, namun gejala politisasi BI (oleh DPR) sangat terasa. Bagaimana DPR bisa berperan aktif menegakkan independensi BI, kalau mereka tidak konsisten memperjuangkannya? Di sisi lain, bagaimana masyarakat yakin pada profesionalisme BI, jika lima dari sembilan kandidat yang diusulkan Gubernur BI adalah orang-orang yang menurut BPK terlibat penyimpangan BLBI? Di atas itu semua, bagaimana harus menghadapi IMF, yang bersikukuh pada prinsip bahwa penegakan independensi bank sentral adalah bagian dari upaya pemulihan ekonomi? Kelemahan institusional pada lembaga-lembaga tinggi negara dan pada berbagai landasan hukumnya adalah satu hal, dan kelemahan dalam karakter dan etika berpolitik para politisi adalah hal yang lain. Keterpurukan ekonomi bangsa ini tampaknya sudah tidak mampu menolerir kedua kelemahan itu sekaligus. Sekarang para politisi tinggal pilih, apakah terus memanfaatkan kelemahan institusional yang akhirnya berdampak pada kebangkrutan ekonomi, atau berusaha keras mengatasi kelemahan itu demi menegakkan independensi BI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus