Rancangan Undang-Undang Kepolisian menurut jadwal akan disahkan DPR RI dalam rapat plenonya Rabu pekan ini. Pembicaraan di tingkat Pansus sudah selesai, dan draf itu pun sudah ditandatangani untuk disepakati. Namun, banyak pihak yang mengharap DPR tidak mengesahkan RUU itu. Suara itu datang dari kalangan LSM yang bergerak di bidang hukum. Juga datang dari sebagian anggota dewan.
Kalau melihat aspirasi yang ada di masyarakat, masuk akal jika RUU Kepolisian itu ditunda pengesahannya dan dibahas kembali di dewan. Masalahnya, ada kesan DPR selama ini belum menangkap sebanyak-banyaknya aspirasi yang ada. Sebuah hasil kajian dari Universitas Gadjah Mada, misalnya, jelas-jelas meminta agar pasal-pasal dalam RUU Kepolisian itu dibicarakan kembali. Tim UGM ini mempersoalkan status kepolisian negara yang berada langsung di bawah presiden. Menurut hasil kajian itu, polisi lebih tepat jika berada di bawah Departemen Dalam Negeri, dalam bentuk sebuah direktorat jenderal.
Kalangan LSM mempersoalkan beberapa hal, antara lain, tugas polisi di bidang penyidikan yang begitu luas. Lalu, ini yang agak kontroversial, batas pensiun bagi anggota polisi—terutama di kalangan perwira—naik dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Tak ada penjelasan kenapa usia pensiun itu naik tiga tahun, yang berarti berbeda dengan usia pensiun di kalangan TNI.
Ada beberapa kebetulan yang terjadi. Kapolri sekarang ini dijabat oleh Jenderal S. Bimantoro, yang usia pensiunnya menurut UU Kepolisian yang lama jatuh pada 3 November mendatang. Jika undang-undang lama ini masih berlaku, otomatis S. Bimantoro menanggalkan jabatannya sebagai Kapolri. Tetapi, kalau undang-undang yang baru itu lahir sebelum 3 November, berarti S. Bimantoro tetap menjabat Kapolri. Presiden tak bisa mencopotnya begitu saja, karena ada pasal yang menyebutkan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan oleh presiden dengan persetujuan DPR.
"Kebetulan" ini mengundang kecurigaan bahwa DPR sengaja main cepat-cepatan mengesahkan RUU Kepolisian, agar S. Bimantoro selamat dari jerat usia pensiun dan tetap memakai tongkat Kapolri. Meskipun hal ini terpulang kepada Presiden Megawati sendiri, apakah Mega juga akan menandatangani undang-undang itu sebelum 3 November. Kalau Presiden membubuhkan tanda tangannya setelah 3 November—Presiden punya waktu 30 hari untuk itu—usia pensiun Bimantoro tak mengikuti UU Kepolisian yang baru.
Seandainya "kebetulan" ini memang direkayasa, apalagi dengan alasan mengejar masa sidang, betapa rendahnya mutu undang-undang yang bakal lahir itu. Ia hanya dibuat untuk menyelamatkan kedudukan seseorang, bukan untuk menjawab tantangan masa depan. Produk undang-undang seperti ini tak akan punya wibawa hukum. Karena itulah, kajian dari UGM, usul dari LSM di bidang hukum, dan pendapat beberapa pakar, sebaiknya dibahas kembali secara mendalam. Undang-undang yang dibuat ini tentu bukan untuk jangka waktu yang pendek, apalagi hanya untuk kepentingan seseorang. Jadi, kenapa harus dipaksakan lahir pekan ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini