Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POSISI Indonesia di sepak bola dunia melejit naik. Ranking tim nasional berada di urutan ke-129 FIFA, naik empat tingkat setelah Indonesia bermain bagus dalam kualifikasi Piala Dunia 2026. Timnas memang tak pernah menang, tapi hasil seri melawan Arab Saudi dan Australia sangat berarti. Dua negara itu sudah langganan menjadi peserta Piala Dunia. Di kawasan ASEAN, posisi kita hanya di bawah Thailand (peringkat ke-100) dan Vietnam (peringkat ke-116).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adakah ini sebuah keberhasilan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) sejak dipegang Erick Thohir yang juga Menteri Badan Usaha Milik Negara? Ya, bisa disebut demikian. Namun bukan berhasil membina pemain sepak bola Indonesia. Bukan pula membuat kompetisi yang bermutu di dalam negeri untuk kemudian mengambil pemain terbaik di klub untuk timnas. Kesuksesan Erick Thohir dan Shin Tae-yong, pelatih asal Korea Selatan, adalah berhasil mendatangkan pemain dari luar negeri. Pemain yang sudah berjaya di klub-klub tingkat dunia. Mereka dikumpulkan untuk berlaga atas nama “garuda Indonesia di dada”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah bekennya naturalisasi. Sudah ada 14 pemain asing yang dinaturalisasi sampai pertandingan melawan Australia. Untuk persiapan melawan Bahrain pada pertengahan Oktober 2024, Indonesia sudah mendapatkan lagi dua pemain naturalisasi baru, yakni Eliano Johannes Reijnders dan Mees Victor Joseph Hilgers. Dua pesepak bola Belanda ini sudah disetujui kewarganegaraan Indonesianya oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada Kamis, 19 September 2024. Mereka akan disumpah menjadi warga negara Indonesia, sebagaimana peraturan di FIFA, sebelum didaftarkan sebagai pemain timnas. Karena kesibukan keduanya membela klub asal mereka di Belanda, pengambilan sumpah dilakukan di negeri Kincir Angin itu.
Penggemar sepak bola Tanah Air tetap bersemangat mendukung timnas yang nama-namanya sulit dieja. Stadion Gelora Bung Karno, saat timnas bermain imbang melawan Australia, penuh sesak. Penonton juga ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya mengawali pertandingan, meskipun para pemain tampaknya belum hafal lagu itu. Memang hampir semua pemain tak paham bahasa Indonesia.
Banggakah kita dengan timnas yang hebat seperti ini? Sebagian bangga dan sebagian tidak. Yang tidak bangga berdalih, ini hanya mengumpulkan pemain yang sudah jadi. Pasti ada iming-iming uang selayaknya bisnis bola kelas dunia. Kita tak repot membina pemain dari bawah. Namun kelompok yang kontra naturalisasi lebih banyak diam, menahan diri dari euforia penonton timnas yang fanatik. Kecuali Peter Gontha yang jelas-jelas menulis di akun media sosialnya tentang ketidaksetujuan terhadap naturalisasi.
Peter Gontha adalah mantan duta besar Indonesia untuk Polandia. Dia penggemar bola, selain musik jazz. “Saya sungguh galau,” demikian dia menulis. Lalu dilanjutkan: “Saya mau menjaga martabat bangsa. Saya malu.” Adapun Rocky Gerung, tokoh yang tiap hari mengkritik segala kebijakan pemerintah di akun YouTube, lebih keras lagi. “Banyak hal yang mesti dikerjakan di sepak bola dan tidak bisa di-bypass dengan sekadar naturalisasi. Ada pemalsuan sebenarnya di situ,” ujar Rocky.
Perlu diperjelas, naturalisasi yang dilakukan PSSI berbeda dengan “membeli pemain asing”. Ada syarat yang diberikan PSSI, yakni orang yang dinaturalisasi punya hubungan darah dengan Indonesia. Apakah darah Indonesia itu dari ibunya, bapaknya, neneknya, atau kakeknya. Bahwa mereka lahir dan besar di Belanda dan tak paham budaya Indonesia, itu urusan lain. Ini tak ada kaitan dengan menendang bola.
Yang menjadi masalah, apakah ini kebijakan seterusnya yang dilakukan PSSI atau hanya program jangka pendek untuk menaikkan ranking FIFA? Sampai kapan program naturalisasi berjalan? Bukannya hal ini membuat klub-klub liga Indonesia menjadi kurang bergairah? Sudah mulai muncul suara, untuk apa membina klub mati-matian kalau timnas mengambil pemain dengan cara impor? Nah, PSSI harus memperhatikan suara itu.
Bahkan sebagian orang yang kritis—terlihat dari riuhnya media sosial—juga membawa masalah naturalisasi ke persoalan politik. Misalnya, kalau pejabat kita banyak yang bego, dari presiden sampai menteri, kenapa tidak naturalisasi saja dari negara lain?
Memang, jalan pintas naturalisasi ini sebaiknya berhenti di suatu titik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo