Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Anak Pertama Universitas Terbuka

Sejak didirikan 1984, untuk pertama kalinya universitas terbuka mewisuda lulusannya di balai sidang, jakarta. sebagian besar mahasiswanya sudah bekerja. selain murah, lulusannya bisa diandalkan.

7 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNIVERSITAS Terbuka (UT) melahirkan anak sulungnya. Dalam suatu upacara yang tak gegap gempita di Balai Sidang Jakarta, Kamis pekan lalu, untuk pertama kali UT sejak didirikan 1984, mewisuda sarjana yang diluluskan. Suasananya tak semeriah, katakanlah, wisuda UI beberapa tahun sebelumnya di tempat sama. Maklum, gedung berkapasitas 10 ribu pengunjung itu hanya dihadiri kuran dari tiga ribu orang. Mahasiswa yang diwisuda pada Lustrum I itu baru 1.423 orang. Bagaimanapun, acara itu merupakan tonggak sejarah bagi pendidikan terbuka yang telah berhasil melahirkan sarjana (S1). "Inilah hari yang sangat menggembirakan dan membuat saya bangga," kata Rektor UT Prof. Dr. Setijadi. Tahun lalu, UT baru meluluskan program D2 dan D3. Sebenarnya yang boleh senang dalam waktu terakhir ini tidak hanya Setijadi. Setelah berjalan selama lima tahun, banyak hal telah dicapai oleh UT yang kini mempunyai 150 ribu mahasiswa. Pengorganisasian pendaftaran mahasiswa dan pengelolaan perkuliahan kini jauh lebih baik. Kesalahan yang dilakukan UT sebelumnya, seperti diakui sendiri oleh Setijadi, adalah pada sistem yang digunakannya. Dulu, seorang calon mahasiswa, terutama yang dari daerah, baru memperoleh pengesahan status kemahasiswaannya setelah jangka waktu 41 hari. Itu terjadi lantaran semua urusan registrasi dan pengiriman bahan belajar diproses di pusat. Kantor Pos Penjual Formulir (KPPF) -- yang tersebar di 120 kota provinsi dan kabupaten -- semula hanya bertindak menjualkan formulir. Para calon mahasiswa boleh mengirimkan berkas yang sudah diisinya melalui kantor pos mana saja. Sementara itu, para petugas UPBJJ (Unit Program Belajar Jarak Jauh) bertindak mengawasi dan memantau pelaksanaan registrasi di wilayahnya masing-masing. Ada sebab lain yang membuat terlambat seperti sebagian mahasiswa sendiri yang kurang memahami buku petunjuk untuk mengisi formulir yang akan diproses komputer di kantor pusat UT. Akibatnya, pengiriman bahan kuliah juga tertunda, sehingga para mahasiswa tidak siap ketika hari ujian tiba. Maka, sistem baru itu pun, yang dilaksanakan 1986-1987, akhirnya perlu diperbaiki. Caranya, dengan mengaktifkan UPBJJ (berjumlah 32) sebagai tempat registrasi dan pendistribusian bahan belajar. Bagi mahasiswa yang domisilinya jauh dari UPBJJ, bisa mengirimkan langsung formulir registrasi ke UT Pusat. Bahan pelajaran pun bisa dibeli di toko buku Gunung Agung dan Gramedia, yang memang bekerja sama dengan UT dalam penjualan bahan kuliah. Tampaknya, cara yang terakhir ini telah memadai. Kini, pada semester ke-11 tahun ajaran 1989, UT sudah meluluskan sarjananya yang pertama. Mahasiswanya, 40% sudah kawin, berasal dari 32 kota di seluruh Indonesia. Bidang studi masih terbatas pada empat fakultas, yakni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Fakultas Ekonomi (Fekon), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Komposisi usia mereka pun berbeda dengan universitas biasa. Usia 25-30 tahun menduduki porsi terbanyak yakni 36,7%, 19-24 tahun 25,7%, dan 31-36 tahun 20,4%. Yang menarik, 74,2% mahasiswa tercatat sudah bekerja dan cuma 25% yang masih menganggur. Motivasi sebagian mahasiswa UT, seperti diakui Suwarni Murniati, 27 tahun, adalah untuk meningkatkan golongan dalam statusnya sebagai pegawai negeri. Sarjana baru UT ini sehari-hari adalah guru SMA 2 Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogya. Sarjana mudanya didapat dari IKIP Yogya dan kini golongannya adalah 2A. Masuk UT, kata Suwarni, "Selain untuk menambah pengetahuan, saya berharap bisa dipromosikan naik golongan. Bukankah UT negeri juga." Dalam beberapa hal, menurut pengakuan Setijadi, lulusannya lebih bisa diandalkan ketimbang sarjana perguruan tinggi biasa. Misalnya, mereka yang dari FKIP UT ternyata lebih piawai menerapkan ilmunya dibanding lulusan IKIP. "Kesimpulan ini kami ambil berdasarkan penelitian," kata Setijadi. Mungkin, karena sebagian mahasiswa UT pada umumnya guru dan belajar untuk mendapatkan S1. Mereka bisa langsung mempraktekkan pengetahuan baru yang diperolehnya. Di samping FKIP, UT sebenarnya juga mempunyai peluang untuk meningkatkan gengsi fakultas lainya. Sistem kuliahnya didasarkan Dada modul yang selalu direvisi sesuai dengan perkembangan situasi. Selama lima tahun ini, UT sudah menghasilkan 3.678 buah modul untuk 444 mata kuliah. Yang sudah direvisi ada 2.402 buah modul. Anggaran yang disediakan Pemerintah tak kurang dari Rp 4 milyar setahun untuk gaji karyawan, memelihara gedung, dan seterusnya. Dengan gedung pusat yang megah di Pondok Cabe, berikut laboratorium, UT juga ditopang bantuan dari Kanada Rp 7 milyar dan Jepang Rp 4 milyar. Langkah selanjutnya, kata Setijadi, agar UPBJJ yang tersebar di 32 kota itu tidak lagi menumpang di kantor orang. Sebagai lembaga pendidikan alternatif untuk pengembangan pengetahuan tingkat universitas, UT kabarnya juga relatif murah. Ini dikatakan oleh Pembantu Rektor III Bidan Kemahasiwaan dan Operasi Dr. Atwi Suparman M.Sc. Katanya SPP UT yang Rp 40 ribu (untuk 12 SKSj dan Rp 80 ribu (18 SKS), lebih rendah 50% dibanding SPP di perguruan tinggi negeri -- katakanlah di UGM dan UI. Sedangkan untuk biaya buku transportasi, dan makan, "Mahasiswa UT hanya memerlukan seperenam dari yang dikeluarkan mahasiswa PTN non-UT." Perkembangan seperti itu menarik. Apalagi dalam kenyataannya, seperti kata Atwi dalam pidato ilmiahnya bersamaan dengan lustrum itu, kualitas lulusan UT tak diragukan. Maksudnya, lulusan UT tak cukup mahasiswa yang pandai. Mereka dituntut disiplin, mandiri, berdaya tahan tinggi, dan pantang menyerah untuk menyelesaikan pendidikan jarak jauh. Mohamad Cholid dan Priyono B. Sumbogo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus