TIDAK mudah mengomentari kolom Arief Budiman yang berjudul, Kapitalisme yang Masih Malu-Malu. Bukan materinya yang sulit, tetapi menemukan garis merah pola dan sistematik berpikirnya. Saya kira kita harus mengkaji kembali strategi pembangunan kita secara radikal, sebelum terlambat. Setuju tidak dengan kapitalisme? Atau, kita memang sudah terlambat?" Kita menjadi bingung, apa maunya Arief sebenarnya? Inti pemikiran Arief dalam kasus pasar swalayan: * Dalam bidang usaha yang sama, pemilik modal besar pasti akan menang dan menggilas pemilik modal kecil, karena pemilik modal besar bisa menyewa pegawai-pegawai yang profesional, lebih efisien, dan pelayanannya kepada konsumen lebik baik. * Ditinjau dari sudut pertumbuhan ekonomi dan efisiensi, memenangkan pemilik modal besar menguntungkan, karena rakyat di sekitarnya, yang merupakan masyarakat konsumen, dibuat senang lantaran bisa membeli barang dengan harga murah, pelayanan yang efisien, dan ruang toko yang serba luas, sistematika penempatan barangnya gamblang dan menarik dan asortimennya lengkap pula. * Ditinjau dari sudut pemerataan, yang memperoleh pendapatan dari usaha eceran makanan dan kelontong terkonsentrasi pada beberapa pemilik modal besar saja. Ini tidak adil, dan pada saatnya akan meledakkan gejolak sosial. * Kalau pemilik modal kecil yang dimenangkan pemerintah, apalagi yang menjual sayuran dan daging dengan pikulan dan sepeda, pendapatan yang diperoleh dari berjualan makanan dan kelontong akan merata pada banyak pedagang kecil. Karena itu, kemungkinan terjadinya gejolak sosial menjadi minimal. Tetapi, rakyat di sekitarnya, yang menjadi konsumen, hanya bisa ngiler melihat pasar swalayan di luar negeri. Sudah sengsara, karena membelinya sambil jongkok di emperan rumah, harganya pun mahal pula. * Dalam menghadapi dilema-dilema ini, pemerintah cenderung bingung, sambil dari waktu ke waktu secara refleks (tergantung dari mana datangnya jeritan) bertinju ke kiri dan ke kanan, sehingga sistem ekonomi kita lalu menjadi sistem ekonomi kaget-kagetan. Arief mempunyai persepsi yang berbeda dengan saya mengenai peri laku kapitalis dan peri laku bisnis. Pertama, dalam kehidupan bisnis masalahnya tidak tajam hitam dan putih. Maka, tidak selalu pemilik modal besar mesti menang. Pemilik modal besar memang kuat menyewa tenaga-tenaga yang terampil dan profesional, tetapi apakah mereka selalu mesti bisa mendapatkannya, bisa menilainya, dan pasti bisa menegakkan kepemimpinannya, bisa memelihara seluruh karyawan sebagai tim yang kompak? Ini masalah lain lagi. Dalam praktek, banyak kita lihat kapitalis-kapitalis baru, terutama anak-anak yang baru kembali dari studi di luar negeri, sangat ngawur. Mereka belum apa-apa sudah gemerlapan, mempunyai staf yang besar, naik mobil mahal lengkap dengan telepon di dalamnya, dan interior kantor yang mengalahkan interior kantor David Rockefeller, ini semua adalah pemborosan, bukan efisiensi. Orang-orang semacam ini biasanya juga latah-latahan. Mereka membuat pasar swalayan setelah pasar swalayan lainnya sukses. Pasar swalayan yang pertama dan ternyata sukses biasanya dibangun oleh orang yang memang sudah lama berkecimpung dalam bidang ini. Dua pasar swalayan yang maju sekarang -- Gelael dan Hero -- mulainya sangat kecil. Yang satu hanya toko kecil di tengah Pasar Blok M, lainnya di Gang Ribald. Secara sangat perlahan-lahan mereka tumbuh menjadi besar. Dengan mengemukakan ini, sekaligus saya ingin mengajukan pertanyaan yang demikian ini -- boleh dan baik atau tidak? Kalau tidak boleh, lalu ukuran yang boleh apa? Setelah sebuah toko kecil sukses dan mendatangkan laba besar labanya lalu harus untuk apa? Bolehnya berapa toko? Asortimennya apakah harus dibatasi? Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, karena relevan dengan pembahasan selanjutnya. Setiap jenis bisnis mempunyai ukuran optimalnya sendiri-sendiri. Dalam hal pasar swalayan, yang optimal adalah ruang toko yang besarnya cukup untuk memuat asortimen lengkap, dan setiap produk tidak perlu disediakan rak yang berlebihan. Kalau asal besar fungsi toko lalu menjadi gudang, sementara interior toko, lengkap dengan AC dan sebagainya, sangat mahal. Jadi, masalah besarnya toko relatif. Kalau ada kapitalis besar membuat toko asal besar saja, sedangkan kapitalis kecil cukup mempunyai modal yang pas untuk luasnya toko seperti digambarkan di atas, maka yang besar lambat atau cepat pasti akan kalah efisien dengan yang lebih kecil, tetapi klop dengan ukuran toko yang optimal. Toko-toko yang diserahkan kepada manajer-manajer gajian, kalau cara memilih orang-orangnya tidak tepat, mereka cenderung sembarangan. Ungkapan Small is beautiful dalam bisnis sering kali berlaku, karena ada faktor lain di sini, yaitu pelayanan pribadi yang hangat. Tidak jarang saya mendengar dari banyak pelanggan yang merasa nyaman berbelanja di Kemchick, karena sering disapa dan dilayani dengan hangat oleh Bob Sadino, sang pemilik, yang mondar-mandir secara simpatik dengan sandal jepit dan celana pendeknya. Kemchick ternyata berkembang, tidak digilas oleh Golden Truly. Kalau kita keluar dari Pasar Swalayan Hero di Jalan Barito, Jakarta Selatan, dan langsung belok kiri, setelah menyeberang perempatan terdapat sederetan pedagang kaki lima yang menjual buah segar. Jadi, letaknya sangat dekat. Semua buah yang dijajakan di sana juga dijual oleh Hero. Tetapi, kaki lima ini sangat berkembang dan laku terus. Pertama, harganya memang ternyata lebih murah. Bagaimana Hero bisa bersaing, kalau mereka tidak perlu duduk di ruang ber-AC, dan tidak perlu membayar pegawai-pegawai yang mahal. Lagi pula, setiap penjual barang dan jasa, kalau tidak brengsek betul, selalu mempunyai kelompok langganan sendiri dan segmen konsumen tertentu yang cukup setia, karena hubungan yang berkembang menjadi kawan dan akrab. Hubungan seperti ini dibuktikan oleh Eduard Kimman dalam disertasinya yang berjudul, -- Indonesian publishing, economic organizations in a langganan society -- . Maka, toko-toko kecil dan kaki lima tidak mesti mati dengan munculnya yang besar-besar. Salah-salah, yang besar bisa bangkrut. Jadi, aksioma pertama, yang mengatakan bahwa pemilik modal besar pasti menang dalam persaingan, ternyata tidak terlampau valid. Mengenai kemungkinan terjadinya gejolak sosial. Menurut Arief, kalau yang dimenangkan modal besar, masyarakat konsumen justru diuntungkan oleh efisiensi modal besar. Yang dirugikan adalah para pemilik modal kecil. Maka, masih mengikuti jalan pikiran Arief kepentingan modal besar dan masyarakat konsumen paralel, melawan kepentingan pemodal kecil. Seluruh rakyat adalah konsumen. Jadi, jumlahnya besar sekali. Bagian terbesar rakyat ini, ditambah dengan para pemilik modal besar, kepentingannya bertentangan dengan pemilik modal kecil. Lalu, mengapa bisa terjadi gejolak sosial? Apakah kekuatan para pemilik modal kecil beragitasi begitu dahsyat, sehingga bisa menghasut seluruh rakyat yang kepentingannya justru klop dengan pemilik modal besar? Seandainya yang dipertentangkan Arief adalah kaum buruh versus kaum kapitalis, skenario gejolak sosial lebih masuk akal. Ini pun hanya terjadi dalam kondisi tertentu. Dalam pertumbuhan kapitalisme sampai menjadi kapitalisme welfare states ternyata gejolak sosial tersebut dapat dihindarkan. Proses pertumbuhan kapitalisme ternyata sangat berlainan dengan verelendungstheorie, dari Karl Marx. Dia cenderung membuat skenario yang deduktif murni keluar dari otaknya sendiri, yang sering kali terlepas dari realita yang dinamis. Tidak terpikirkan olehnya bahwa situasi konflik antara buruh dan majikan tidak mesti diselesaikan dengan pemberontakan kaum proletariat. Kaum buruh bisa membentuk serikat buruh, menyewa lobbyist politik, bahkan bisa duduk dalam kabinet. Dan, dengan peraturan-peraturan yang cemerlang serta pembentukan organisasi-organisasi jaminan sosial yang efektif, kaum buruh malah bisa mengeksploitir kaum kapitalis. Ini terjadi di Eropa Barat, terutama di negeri-negeri welfare states Skandinavia, Inggris, dan Belanda. Saya setuju dengan Arief bahwa sebaiknya pemerintah lebih konsepsional. Tetapi, imbauan juga berlaku bagi Arief sendiri. Analisanya yang berdasarkan jeritan dua pasar swalayan dan jeritan antikoran Bisnis Indonesia cuma berputar-putar di situ, tanpa mau melihat peri laku kapitalis dan bisnis yang sebenarnya, dan tanpa mau melihat kekuatan dan mekanisme interaksi antarmanusia bisnis, buruh dan konsumen yang sebenarnya. Kalau pemerintah mendengar jeritan lalu kaget, Arief mendengar jeritan mendadak bingung. Yang dikemukakan Arief mengenai kasus koran Bisnis Indonesia, intinya sebagai berikut: * Perusahaan pers sudah kapitalistis dan hukum dakhilnya adalah mencari untung. Maka, jangan malu-malu mengakui, dan jangan kaget kalau yang bangkit dalam bidang pers adalah raksasa-raksasa kapitalis. * Adalah omong kosong kalau kapitalis ingat kapitalis lain dalam tahapan membuat labanya. Bahwa dia bersedia memberikan sebagian (mungkin sangat kecil) dari laba yang sudah terbentuk untuk derma, itu soal lain -- yang tidak ada hubungannya dengan berbisnis kapitalistis. * Para kapitalis ini hipokrit. Kalau dia memakan orang lain diam saja, tetapi kalau terancam akan dimakan, dia berteriak-teriak minta perlindungan. Saya setuju dengan dalil Arief itu. Tapi, saya juga membuat beberapa catatan: * Kalau Arief berpendapat bahwa pimpinan perusahaan pers besar itu salah pikir dan menentang logika dakhil kapitalisme, saya cenderung berpendapat bahwa dia sangat lihai. Dia ingin mempengaruhi Arief sebagai public opinion leader untuk membela dia. Jadi, kalau Arief lain kali berhadapan dengan kapitalis, mesti konsisten dengan logika dakhilnya sendiri, bahwa peri laku kapitalis dalam tahapan membuat laba memang business animals. Maka, tidak perlu memberi nasihat segala macam. * Mengenai lembaga derma, di sini pun saya cenderung berpegang teguh pada logika dakhil Arief, yakni bahwa peri laku lembaga derma ini pun berfungsi sebagai alat public relations. Dia tidak akan keluar banyak uang, kalau yang minta bukan penguasa. * Lalu, mengenai hipokritnya kapitalis, saya tidak menafsirkannya sebagai hipokrit. Sesuai dengan logika dakhil kapitalisme, saya menganggapnya sebagai pintarnya kapitalis. Mengapa dia tidak menjerit sebagai underdog, kalau yang dijeriti sensitif, apalagi kalau lalu kaget dan melakukan tinjuan refleks. Apakah kapitalisme boleh dan baik? Yang paling utama adalah bahwa kita harus mendefinisikan apa kapitalisme itu. Menurut saya kapitalisme adalah diperkenankannya perorangan memiliki dan memupuk modal, dan mereka dibolehkan memakai modalnya untuk mengombinasikan faktor-faktor produksi, termasuk tenaga manusia yang disewanya, untuk menghasilkan barang dan jasa demi memenuhi kebutuhan manusia. Berdasarkan definisi itu, posisi saya jelas, yakni boleh dan baik, dan memang tidak perlu malu-malu. Apakah ini berarti bahwa saya tidak takut akan ekses ketimpangan keadilan sosial? Ya, sangat. Tetapi, saya melihat banyak jalan yang lebih produktif dan efektif daripada sekadar melarang saja. Kita bicara prinsipnya dahulu, dan jangan memasukkan faktor besar kecilnya perusahaan kapitalistis yang diizinkan. Yakni, apakah kapitalisme, seperti definisi di atas, prinsipnya boleh atau tidak. Kalau tidak, kita lalu menjadi negara totaliter dan sentralistis 100%. Ini hampir tidak mungkin operasional di dalam prakteknya. Lalu, bagaimana dengan pembatasan? Kapitalisme boleh, tetapi dibatasi supaya tidak membengkak sampai menjadi raksasa dan mencaploki kapitalis-kapitalis lainnya yang lebih kecil. Prinsipnya, saya setuju, tetapi saya buntu dalam hal kongkretnya. Sebab, bagaimana menentukan ukuran pembatasannya? Jumlah pegawainya? Jumlah keluaran produksinya? Tingkat teknologi yang dipakainya? Atau jumlah modal yang tertanam di dalamnya? Pemikiran saya adalah kaum kapitalis ini memang business animals dengan segala perangkatnya sebagai animals. Tetapi mereka sangat berguna bagi masyarakat, kalau kita pandai mengendalikan, mempermainkan, dan mengarahkannya untuk kepentingan rakyat. Mereka ini manusia yang sangat inventif, penuh dengan inisiatif, manusia pencipta hal-hal yang besar, all out, berani mengambil risiko besar. Karena itu, mereka juga all out dalam metode-metodenya. Kalau perlu mereka akan main kotor, melanggar peraturan bilamana aparat pemerintah meleng sedikit saja. Seandainya pemerintah lihai, pemerintah pasti menang, karena mempunyai kekuasaan memaksa. Cara-cara yang juga kita lihat di dalam praktek: * Kebijaksanaan pengaturan kompetisi di pasaran diusahakan agar selalu dipelihara, supaya harga selalu cukup rendah, demi kenikmatan konsumen. * Biarkan mereka meraih laba yang besar, kalau memang masih mampu, setelah disaingi oleh pesaing-pesaing lain, yang dalam volume maupun efisiensi sudah memadai. Labanya digaet kembali oleh pemerintah lewat aparat pajak, untuk kemudian dipakai dalam bidang-bidang yang sifatnya pemerataan pendapatan. Yang diratakan labanya, bukan aparat pembuat labanya. Aparat pembuat laba ini biar dimiliki oleh mereka, karena pemilikan dan kebanggaan memiliki ini merupakan insentif bagi mereka untuk tetap mati-matian bekerja. * Pemerintah harus pandai memojokkan sampai batas, mereka masih bergairah berproduksi walaupun labanya sebagian besar dirampas. Pengalaman di negara-negara lain menunjukkan bahwa kaum kapitalis ini belum lari sekalipun sampai 70% dari labanya diambil oleh aparat pajak. Suasana dan kenyamanan berusaha serta status sebagai orang kaya yang harus diperhitungkan, tampak sangat penting untuk mencambuk mereka bekerja terus sebagai business animals. Apakah animals ini bisa dijinakkan untuk kemaslahatan bagian terbesar rakyat? Ini tugas pemerintah dengan seluruh aparatnya. * Pemerintah juga harus pandai menciptakan organisasi-organisasi jaminan sosial, yang dengan mekanisme tertentu, sebenarnya dibiayai oleh unit-unit usaha sendiri yang dimiliki oleh para kapitalis ini. Juga mekanisme penentuan batas minimum gaji sangat penting. Keharusan ekspor nonmigas membawa kita pada keadaan tidak punya pilihan, kecuali menerima kapitalisme skala besar. Kalau kita mau ekspor nonmigas, kita harus bersaing dengan produk-produk dari negara lain, yang menghasilkan produk dengan aparat produksi skala besar. Jika kita skalanya kecil-kecil, demi pemerataan dalam tahap pembentukan laba, pasti tidak akan mampu bersaing. Kalau ingin bersaing harus ikut-ikutan dengan skala besar. Pemerataannya kita wujudkan dalam tahap setelah laba terbentuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini