SUATU pagi, seorang suami membangunkan istrinya yang sedang tidur nyenyak. "Sayang, ini ada tagihan untuk kartu-kartu kreditmu. Mereka menunggu di ruang tamu." Sang istri menggeliat, dan dengan malas bertanya, "Kartu kredit yang mana?" "Master Card dan Visa." "Bilang, nanti siang saja saya bayar." "Mereka bilang, surat peringatan sudah berkali-kali dikirimkan tapi tak pernah kamu gubris. Karena itu, mereka menunggu, dan minta bayar sekarang juga." Ternyata, tak cuma itu surat tagihan yang datang. Masih ada dua lembar lagi. Sang suami terpaksa sekali lagi mengganggu istrinya yang masih malas bangkit dari ranjang itu. "Masih ada dua tagihan lagi, Sayang. Yang satu dari Diners Club International, dan satu lagi dari Carte Blanche. Bagaimana? Semua akan kamu bayar hari ini?" Sang istri dengan malas membalikkan tubuhnya menghadap ke dinding kamar tidur. "Bagaimana?" tanya suaminya lagi. Dengan tenang, seakan tak ada beban yang mengganggu, sang istri menjawab, "Ya, bayar saja dengan American Express milikku." Bagaimana credit card telah menembus tulang dan masuk ke sumsum kehidupan masyarakat Amerika digambarkan dengan jitu oleh kolomnis tersohor Amerika, Art Buchwald, dalam humor kocaknya di atas. "She is really in debt up to her neck," tulis Buchwald. Mereka yang pernah tinggal lama di Amerika pasti berani mengganti kata she pada pokok kalimat yang ditulis Buchwald menjadi they. Karena orang Amerika tersohor pendukung konsumerisme nomor wahid. Boros-borosan telah menjadi pola hidup mereka, dan tampaknya tak mungkin diubah, karena segalanya bisa diutang dan dicicil. Maka, tidak heran, menjelang Natal dan Tahun Baru toko-toko seakan dikuras habis. Cicilan belanja menyambut Natal dan Tahun Baru itu mungkin baru selesai dibayar menjelang tahun baru berikutnya. Begitu utang selesai -- bahkan terkadang belum -- utang baru sudah harus dibuat untuk menyambut tahun baru yang mengintip di pintu. Siklusnya senantiasa seperti itu. Juga untuk kebutuhan-kebutuhan lain, seperti mobil, alat-alat elektronik, atau komputer. Ganti mobil setahun atau dua tahun sekali merupakan mode yang disenangi. Tiga tahun lalu, ada seorang pejabat tinggi Gedung Putih yang dipromosikan menduduki jabatan yang lebih tinggi. Tapi, sebelum sampai ke kursi empuk itu, ia harus diteliti lebih dulu oleh Komite Hukum Senat Amerika Serikat. Dari hasil penelitian Komite ketahuan bahwa pejabat itu punya utang. Bahkan ia pernah beberapa bulan tidak mencicilnya ke bank. Kalau persoalannya cuma itu, badan legislatif tersebut sebenarnya tidak perlu repot-repot. Untuk apa, sih, ngurusin utang orang? Tapi, ada soal lain yang prinsip: kredibilitas sang pejabat. Ia pernah memberikan "jasa baik" kepada seorang pimpinan bank untuk menduduki sebuah jabatan di pemerintahan. Dan kebetulan istri pejabat bersangkutan berutang belasan ribu dolar kepada bank itu. Tugas Komite sebenarnya hanya menyelidiki kebenaran apakah ada kaitan antara pinjaman istri sang pejabat dan pengangkatan pimpinan bank itu pada posisi yang lebih terhormat. Ternyata, setelah diteliti, kabar itu cuma isapan jempol semata. Komite menyatakan kredibilitas pejabat itu tak diragukan, dan ia disetujui untuk menduduki jabatan yang baru. Cuma, tidak enaknya, orang keburu tahu bahwa ia punya utang, dan istrinya pun punya utang sendiri. Hidup boros dan bermain-main dengan credit card, yang belakangan ini mulai jadi mode dan status simbol di Indonesia, tidak ada salahnya kalau ekonomi lagi sehat. Lain soalnya kalau ekonomi sedang meriang. Bisakah mereka yang sudah terbiasa mengeluarkan uang dengan meneken credit card mengubah pola hidup dan pola belanja mereka bila keadaan ekonomi sedang guncang? Mestinya bisa. Toh, citra affluent society tidak akan sirna begitu saja, bila seseorang mengubah pola hidup dan pola belanjanya. Dulu, ketika harga minyak meroket, orang buru-buru membeli mobil buatan Jepang, karena irit dalam pemakaian bensin. Kini, kabarnya, gara-gara segala sesuatu main teken credit card, ada orang Indonesia, pemilik sejumlah kartu yang punya nilai tukar uang itu, terpaksa menggadaikan jam tangan Rolex berlapis emas kesayangannya, karena saldo banknya tak cukup buat menutupi utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini