Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keadilan bagi Siti Aisyah

Siti Aisyah, buruh migran Indonesia yang didakwa membunuh Kim Jong-nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dibebaskan dari dakwaan oleh Jaksa Agung Malaysia.

18 Maret 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Siti Aisyah tampak tertawa di sela konferensi pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin, 11 Maret 2019. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimin Dwi Hartono
Pegiat Literasi HAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siti Aisyah, buruh migran Indonesia yang didakwa membunuh Kim Jong-nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dibebaskan dari dakwaan oleh Jaksa Agung Malaysia. Ia akhirnya pulang ke Tanah Air pada Senin, 11 Maret lalu, setelah dibebaskan dari tahanan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semula, Siti terancam dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Malaysia atas dakwaan tersebut. Padahal ia diduga kuat hanyalah korban konspirasi internasional pihak-pihak tertentu. Belakangan dakwaan atas Siti dicabut oleh Jaksa Agung Malaysia karena tidak cukup bukti.

Selama lebih-kurang dua tahun pemerintah Indonesia, melalui tim yang dikoordinasi oleh Kementerian Luar Negeri, terus berupaya untuk memberikan perlindungan atas hak-hak Siti. Menurut temuan tim dari Kementerian yang bekerja sama dengan kantor pengacara Malaysia, Siti tidak sadar atas apa yang ia lakukan.

Siti dilatih untuk menjadi artis sebuah acara reality show dan diminta melakukan adegan mengusapkan kain ke wajah seseorang secara tiba-tiba. Ia melakukan hal itu terhadap King Jong-nam pada 13 Februari 2017 di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur. Siti tidak menyangka tindakan yang sebelumnya ia lakukan beberapa kali itu mengakibatkan Kim terbunuh.

Dilihat dari konstruksinya, kasus yang menimpa Siti tidak cukup hanya didekati melalui mekanisme hukum, tapi juga politik dan hak asasi manusia. Selain diduga menjadi korban rekayasa hukum, Siti merupakan korban politik pihak-pihak tertentu yang diduga intelijen Korea Utara, serta patut diduga ada pihak Malaysia yang juga terlibat.

Maka segala tindakan otoritas Malaysia yang merugikan atau mempengaruhi proses hukum atas Siti harus ditanggapi dengan serius oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kasus ini sangat kontroversial karena otoritas Malaysia pernah membiarkan saksi kunci bernama James alias Ri Ji U pulang ke Korea Utara. Padahal James adalah orang yang merekrut Siti untuk menjadi bintang acara reality show itu. James adalah puzzle penting untuk melihat gambaran utuh atas kasus Siti.

Tentu tindakan itu sangat merugikan, apalagi ini diduga adalah bagian dari barter politik antara Malaysia dan Korea Utara untuk membebaskan sembilan warga Malaysia yang disandera di Korea Utara. Sedangkan tiga tersangka lain asal Korea Utara telah melarikan diri ke Pyongyang pada hari Kim Jong-nam terbunuh.

Kasus Siti sejak semula diyakini bukan kasus kriminal murni, melainkan sebuah peristiwa politik yang melibatkan setidaknya kepentingan tiga negara, yaitu Korea Utara, Malaysia, dan Indonesia. Pemerintah Indonesia menyadari hal ini sehingga terus memastikan bahwa segala mekanisme hukum dan diplomasi ditempuh agar hak-hak Siti dilindungi dan dipenuhi.

Pemerintah Malaysia semula adalah salah satu negara yang sangat resisten terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) tapi perlahan mulai membuka diri. Dari delapan instrumen pokok HAM internasional, hanya dua yang diratifikasi oleh negara tersebut, yaitu Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-hak Anak (CRC).

Pada 18 November 2012, para anggota ASEAN telah mengesahkan Deklarasi HAM ASEAN yang mengikat komitmen negara-negara anggotanya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Jadi, di samping memakai mekanisme hukum dan politik, dalam diplomasinya pemerintah Indonesia memakai mekanisme HAM dalam menangani kasus Siti. Kebijakan dan tindakan otoritas Malaysia terindikasi telah melanggar CEDAW dan Deklarasi HAM ASEAN.

Pasal 2 huruf c dan d CEDAW mengatur bahwa negara pihak (Malaysia) wajib melindungi hak-hak perempuan, menjaminnya melalui pengadilan nasional yang kompeten, dan melindunginya dari tindakan diskriminasi. Adanya dugaan pelanggaran dan diskriminasi atas Siti perlu dibahas dalam sidang Komisi ASEAN untuk Promosi dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak-Anak serta Komisi HAM antar-Pemerintah ASEAN (AICHR). Meskipun mandat lembaga-lembaga ini tidak masuk ranah penyelidikan, keduanya bisa mengkaji dan memberikan rekomendasi atas kasus Siti agar diperhatikan oleh otoritas Malaysia.

Atas dasar norma-norma yang ditegaskan dalam instrumen HAM internasional dan regional tersebut, pemerintah Indonesia dapat meminta pertanggungjawaban dan akuntabilitas otoritas Malaysia agar mematuhinya selaras dengan prinsip due process of law. Mekanisme HAM ASEAN membuka peluang bagi pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk berkomunikasi dan berkomitmen untuk terus memenuhi dan melindungi hak-hak Siti yang memang belum bebas murni. Jika ada bukti baru, Siti bisa kembali diadili.

Pencabutan dakwaan terhadap Siti adalah bukti bahwa dia adalah korban dan telah mengalami diskriminasi dalam proses hukum oleh pengadilan yang diduga kuat tidak kompeten, tidak independen, dan tidak imparsial. Tindakan Jaksa Agung Malaysia yang membebaskan Siti dari segala tuntutan dan memulihkan hak-haknya sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat sudah tepat dan harus diapresiasi sebagai bentuk komitmen Malaysia untuk menghormati dan melindungi HAM.

Mimin Dwi Hartono

Mimin Dwi Hartono

Analis Kebijakan Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus